Tugas Semester
Kebijakan Pendidikan
Di Indonesia Masa Presiden
Di Indonesia, Soekarno
Soeharto, Habibie, Gus Dur,
Mega, Dan Susilo Bambang Yudhoyono
Dosen
Pengampu: Prof. Dr. H. Mukhtar. M.Pd
Politik
Pendidikan
Disusun Oleh:
Muhammad Bakri, S.Pd.I
NIM: P.p. 210.2.1315
Program
Pasca Sarjana Konsentrasi Kurikulum Pendidikan
Islam Institut
Agama Islam Sulthan Thaha Syaifudin Jambi
2012/1433
- Pendahuluan
Pada hakikatnya
kebijakan pendidikan merupakan suatu peraturan yang berfungsi sebagai kontrol
yang mempunyai fungsi: (1) sebagai pemersatu bangsa, (2) perluasan kesempatan,
dan (3) sebagai pengembangan diri. Dengan demikian pendidikan diharapkan dapat
memperkuat keutuhan bangsa dalam negara kesatuan republik indonesia (NKRI),
memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam
rangka pembangunan, dan memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan
potensi yang dimilikinya.
UU Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional merupakan dasar hukum
penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Misi pendidikan
nasional adalah untuk mengupayakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan
yang bermutu bagi seluruh rakyat indonesia, meningkatkan mutu pendidikan yang
memiliki daya saing ditingkat nasional, regional, dan internasional. [1]
Sistem
pemerintahan berganti, berganti pula ideologi/cita-cita negaranya. Pada
masa pemerintahan Soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh
Soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Semenjak proklamasi 17 agustus 1945, sekolah-sekolah yang telah
dibangun pada masa pendudukan Jepang dilanjutkan dengan serba kekurangan.
Namun demikian, dasar-dasar pendidikan nasional telah disempurnakan
dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Masa revolusi pendidikan
nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. [2]
Sejarah pendidikan di
Indonesia modern dimulai dengan lahirnya
gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan” di tahun 1913, dan
Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI
tahun 1945.
Di Indonesia,
berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi
dengan antusiasme, namun malah sebaliknya membuat masyarakat ragu apakah
penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi
pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas.
Karena, tujuan
pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi
yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya,
kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk mensejahterakan masyarakat
dan kemajuan bangsa. Setidaknya ada empat tujuan yang menjadi idealisme
pendidikan. [3]
Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita
dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana
yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954.
Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya.
Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari tujuan negara atau pemerintah.
Pada masa
kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat
sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan
negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan
tujuan pemerintah atau negara,maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan
pendidikan pada suatu negara. Para pengajar,
pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serbaterbatas.
Soekarno,
presiden pertama Indonesia membawa semangat “nation and character building”
dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan
anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas
guru, didirikan pendidikan guru yang diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun,
SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2. [4]
Dengan segala
keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat
mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian
dimasuki oleh politik praktis atau mulai dijadikan kendaraan
politik. Jika dibandingkan dengan sekarang, yaitu tidak ada kejelasan tujuan pendidikan yang dilaksanakan dan cenderung
diwarnai arus menyambut globalisasi.
- Pembahasan
- Kebijakan pendidikan masa presiden sukarno
Kebijakan
pendidikan pada masa presiden sukarno yang pernah
dilaksanakan oleh bangsa
Indonesia, yang sesuai dengan tujuan negara, yaitu pendidikan sosialisme Indonesia
oleh pemerintahan Ir. Soekarno
(1961-1966). Menteri pendidikan pertama Ki
Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan
mengeluarkan Instruksi Umum, yang isinya : menyerukan kepada para pengurus upaya
membuang sistem pendidikan kolonial dan
mengutamakan patriotisme. Selain itu, anak
yang berumur 8 tahun diwajibkan memperoleh pendidikan Sekolah Dasar. Pelaksanaan
wajib belajar menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum memadai apalagi wajib belajar itu akan
dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik masih sangat terbatas, selain
lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial. [5]
Pada Orde Lama
sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan
mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum
begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman
kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi
kepada yang material tetapi kepada yang idel. [6].
Pada prinsipnya
konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan
hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. [7]
Sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah, di
tingkatan kebijakan, sampai penerapannya dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi,merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan
negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan
tujuan tersebut, dan lahirlah mata pelajaran Ilmu
Kewargaan Negara atau Civics, yang diajarkan di tingkat SMP dan SMA.
Sosialisme Indonesia merupakan salah satu
materi dalam mata pelajaran tersebut. Pendidikan sosialisme Indonesia didapat
melewati akal dan pengalaman empiris. [8]
Seokarno pernah berkata:
“…sungguh alangkah hebatnya kalau
tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul
Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat
‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak, " [9]
Dari perkataan Soekarno itu
sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang
sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di bawah menteri
pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem “among”
berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan
kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing
ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” pada 1950
diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang
kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar
pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961
tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis
Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan
Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa
Indonesia berpendidikan SD. [10]
Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), merupakan negara yang sarat
dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat
tegas menyatakan bahwa tujuan UGM
adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan
banyak perubahan pada isinya satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme
pendidikan Indonesia.
Indonesia
pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat
menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945 [11]
Pendidikan
Elitisme
Selain
kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang tak
kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong
sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih
tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme
ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada
ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri.
Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa
memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem
kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa
menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang
dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.
Dalam kaitan
dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme“menolak tiap tindak borjuisme” yang, bagi Soekarno,
merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam
masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh
Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari
proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam
arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika
digerakkan dalam gelora revolusi,akan mampu mengubah dunia.”Dasar garis politik Persatuan Nasional telah
dilukiskan. Bung Karno pada tahun 1926 dalam artikel "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Kemudian garis politik persatuan nasional
tersebut menjiwai dasar negara Pancasila 1 Juni 1945.
Dan ketika
Bung Karno memegang kendali pemerintahan setelah Dekret Presiden Juli 1959 garis politik persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama,Komunis.
(sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim).
Seperti kita
ketahui
sejak Nopember 1945 sampai Juli 1959 Bung Karno tidak mempunyai kekuasaan sebagai
Kepala Pemerintahan (Eksekutif), tetapi hanya sebagai Kepala Negara.
Politik
Pendidikan : implikasi kebijakan luar negeri
Orde Lama
merupakan satu fase yang berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi,
kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945
yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa. Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai
dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa
bebas beroroganisasi sesuai
dengan pilihan atau keinginannya [12].
Kebebasan berpendapat,memang sempat
muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih
baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa
demonstrasimahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus.
Inilah salah
satu erakeemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Karakteristik
kebijakan luar negeri Indonesia pada awal terbentuknya sangat ditentukan oleh kondisi bangsa yang masih prematur.
Pemikiran- pemikiran politik Soekarno yang cenderung nasionalis radikal
( Munawar Ahmad, 2007: 21) dan anti-kolonialis. Semangat yang menarik
selama pemerintahan Orde Lama adalah pergeserannya arah kebijakan politik eksternalnya yang tiba-tiba. Setelah memerdekakan Indonesia, Soekarno lebih condong
ke Barat tapi berubah drastis saat mengetahui kenyataan Barat (dalam hal ini Amerika
Serikat) tidak mendukung upaya diplomasi RI dalam mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.
Akibatnya, Soekarno mengubah haluan politik eksternalnya ke Blok Timur yang dikenal sebagai lawan
sentral Barat. Ini dibuktikanadanya kedekatan Indonesia dengan
Uni Soviet dan China serta dibukanya Poros Jakarta-Peking.Aliran romantisme
rupanya sangat mempengaruhi kepribadian Soekarno.
Ini terlihat
dengan kebijakan luar negerinya yang lebih bersifat
konfrontatif. Baginya wilayah RI adalah sebagai mana pernah
dimiliki Negara Kesatuan RI yang pertama yakni saat berada di bawah kekuasaan
Majapahit. Akibatnya, Soekarno menganggap Semenanjung Malaya (yang meliputi Malaysia, Singapura dan Brunei
Darussalam) sebagai bagian dari RI. Kepercayaannya semakin tinggi saat
dapat mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayahIndonesia. Politik
konfrontatifnya amat kentara saat mendapati realita pembentukan negara Federasi
Malaya oleh
Inggris. Ia memandang hal tersebut sebagai upaya Barat, terutama Inggris,untuk membentuk
alat dalam melestarikan kehadiran dan pengaruhnya di Asia Tenggara, khususnya
Malaysia dan Indonesia ( Mohammad Hatta, 1965: 140).
Perumusan kebijakan saat Orde
Lama berkuasa juga sangat ditentukan oleh eskalasi politik internal Indonesia yang sedang bergejolak dalam menghadapi disintegrasi bangsa. Banyak pergolakan politik baik nasional maupun daerah yang
terjadi saat itu [13]. Pemberontakan PKI
di Madiun1948, pemberontakan bersenjata
PERMESTA di Sulawesi Selatan, PRRI di Sumatra, Darul Islam Di Jawa Barat
(Bambang Cipto, 2007: 89) benar-benar menguras energi politik,
ekonomi dan birokrasi pemerintahan Soekarno.
Kebijakan
Pendidikan : memenuhi kemandirian ekonomi
Kebijakan pendidikan saat itu
dilakukan secara sentralistik, sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa
ini diarahkan kepada prosesindoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang
datangnya dari luar. [14]
Dengan demikian pendidikan bukan
untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar
melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai
dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk
pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan
kehidupan di suasana perang dingin padasaat itu.
Pendidikan pada
masa ini diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi Indonesia. Dimana-mana
mulai dibuka lembaga-lembaga pendidikan baru (tentunya selain sekolah peninggalan Belanda) dari sekolah dasar sampai
sekolah tinggi sebagai sarana peningkatan
kualitas pengetahuan rakyat.
Semangat
diskriminatif di dalam sekolahformal mulai dikikis. Anak-anak dari
kalangan buruh dan tani mulai bisa menikmati dan mengenyam bangku pendidikan. Secara
yuridis, pemikuran tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalamundang-undang
nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah (lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskan dalam UU no.12
th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk
seluruh Indonesia (lembaran Negaratahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran
Negara nomor 550).
Tujuan dan dasar pendidikan pada orde Lama
dapat dilihat pada pasal 3 dan 4.Pasal 3:“ Tujuan
pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap danwarga
Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan
masyarakatdan tanah air ”Pasal 4: “Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam
Pancasila, UUD
Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.
Dalam prakteknya, pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai media untuk mempertahankan kekuasaan rezim
Soekarno. Menurut H.A.R Tilaar sebagaimana dikuti poleh Paul Suparno, pada zaman pra Orde Baru tampak jelas bahwa
pendidikan diarahkan kepada kepentingan politik Negara, yaitu membangun nasionalisme, persatuan, dan penggalangan
kekuatan bangsa. Dalam konteks ini system pendidikan lebih diarahkan untuk menolak
segala pengaruh asing. Tidak ada kebebasan berfikir, semua diarahkan ke nasionalisme
sempit itu. Rezim Orde Lama tumbang seiring adanya gejolak di Jakarta pada
akhir bulan September dan awal Oktober
1965.
Demonstrasi besar-besaran terjadi dengan tiga tuntutan:
1. hapuskan
cabinet dari unsure PKI,
2. bubarkan PKI
3. turunkan harga-harga.
Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, konsep pendidikan ini akhirnya berakhir ketika pada tahun
1965 terjadi pembumi hangusan gerakan kiri di Indonesia yang dilakukan oleh kekuatan militer
dibawah pimpinan Soeharto dibantu oleh AS dan sekutunya.
Awal dari orde baru pun bergulir di
bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, nama orde baru diciptakan demi
membedakan dengan pemerintahan orde lama di bawah Presiden Soekarno. Perbedaan
nama rezim itu bukan saja secara harfiah, maupun perbedaan sang pemimpin
orde. Tapi juga berimplikasi kepada pergeseran secara fundamental misi
dari pemerintah serta metode yang tepat untuk mencapai misi tersebut.
Radius Prawiro yang mantan Deputi menteri untuk urusan Bank Sentral merangkap
Gubernur Bank Indonesia(1966-1973), dalam bukunya Pergulatan Indonesia
Membangun Ekonomi menyatakan bahwa, misi orde baru dapat disarikan sebagai
pembangunan ekonomi.
Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan
ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur
administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi
didikan Barat.
Dalam pencapaian misi tersebut,
disiplin ilmu ekonomi - termasuk alat analisis ekonomi makro dan mikro -
menjadi ujung tombak, padahal di zaman orde lama ekonomi dianaktirikan,
tanpa kebijakan ekonomi yang jitu dan terencana, mustahil ekonomi Indonesia bisa
sehat kembali. Faktor politik, budaya dan sosial juga berperan penting dalam
membangun budaya ekonomi baru itu.
Kabinet
Pembangunan Pertama : Menekankan Rekayasa Sosial
Pada Maret 1967, Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), memilihSoeharto sebagai pejabat
Presiden. Setahun kemudian MPRS memilih Soeharto sebagai presiden. Pada Juni 1968,
presiden Soeharto mengangkat kabinet baru. R.E. Elson dalam bukunya
Soeharto, Sebuah Biografi Politik menuliskan bahwa diantara
tugas-tugas pertamanya sebagai presiden adalah membentuk kabinet baru,
yang diberi nama Kabinet Pembangunan Pertama untuk membedakan kabinet itu dari
kabinet-kabinet sebelumnya yang menekankan berbagai aspek rekayasa sosial yang
berorientasi ideologi.
Presiden Soeharto mendukung penuh
tim ekonomi pemerintah dan rekomendasi mereka sekalipun kebijakan yang diambil
tidak populer secara politis. Staf ahli ekonomi Presiden Soeharto terkenal
sebagai para teknokrat atau sering disebut “mafia Berkeley”
karena beberapa anggotanya alumni University of California at Berkeley.
Tim ini terpisah dari kabinet yang anggotanya terdiri dari Widjojo Nitisastro,
Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Selanjutnya beberapa tim
menyusul seperti Rachmat Saleh, Arifin Siregar, J.B. Sumarlin dan Radius
Prawiro.
Orde baru berlangsung
dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan
nasional. pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga
memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi
penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai
dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk
melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat
dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri. [15]
Soeharto mempercayakan Widjojo
Nitisastro sebagai pemimpin informal dari tim ekonomi ini. Radius Prawiro
menyatakan ada 3 hal nilai yang menonjol dalam menciptakan tatanan ekonomi
baru, yaitu gotong royong, trilogi pembangunan, dan Pragmatisme. Banyak cara gotong
royong yang telah diterjemahkan ke dalam tindakan politik dan kebijakan
lainnya. Dalam masa sulit, pemerintah telah mengimbau warga negara untuk
mendukung kebijakan yang merupakan langkah terbaik bagi kepentingan nasional
meskipun kebijakan tersebut menuntut pengorbanan dari banyak individu. Terutama
saat awal orde baru, gotong royong punya dua arti praktis. Pertama, konsep
ini merupakan alternatif budaya terhadap paham komunisme.
Gotong royong menjadi basis
ideologi yang berakar pada budaya bangsa untuk memajukan kebijakan
ekonomi yang bertanggung jawab secara sosial, toleran terhadap kesejahteraan
individu, dan tidak bertentangan dengan ekonomi pasar bebas. Kedua, gotong
royong punya pengaruh memoderatkan proses perumusan kebijakan di
Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh hubungan erat antara gotongroyong dengan dua konsep budaya
Indonesia lainnya; musyawarah yang berarti dialog,dan mufakat yang berarti
konsensus.
Pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada tahun 1969-1970
diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat
masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan
efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian
dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). [16]
Depdiknas di bawah
Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana
pendidikan “link and match" [17] sebagai upaya untuk memperbaiki
pendidikan Indonesia pada masa itu. [18]
Ideology
Pendidikan : Pendidikan sentralistik dan mentalitas pragmatis
Sense of education ala Soekarno
kemudian dilanjutkan lebih inovatif lagi pada periodesasi kepemimpinan Soeharto.
Di zaman pemerintah Orde Baru misalnya, pendidikan diwarnai oleh politik
yang bersifat sentralistik, dengan titik tekan pada pembangunan ekonomi
yang ditopang oleh stabilitas politik dan keamanan yang didukung oleh kekuatan
birokrasi pemerintah, angkatan bersenjata, dan konglomerat. Dengan politik yang
bersifat sentralistik ini, seluruh masyarakat harus menunjukkan monoloyalitas
yang tinggi, baik secara ideologis, politis, birokrasi, maupun hal-hal
yang bersifat teknis.
Dari sisi ideologi, pendidikan
sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti
dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam
Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan
perjuangan bangsa yang sakral. Sebelum pemerintahan Presiden
Soeharto,sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak
perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator
Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya
pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme. Sebagai
pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi
Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah
diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam
hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta
dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun
1968).
Namun, sejalan dengan pemerintahan
Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan mulai
dikesampingkan, terutama mungkin terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya
gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya.
Sejak saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan
politik bagi pemerintahan soeharto untuk melakukan indoktrinasi.
Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam
sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih
diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi
dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari
justifikasi mengenai G30-S-PKI, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran
konstitusional terhadap kebijakan pemerintah saat itu.
Tidak heran apabila sistem
pendidikan yang adadi Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari
kurikulum yang ada ditentukan oleh pusat (Ibrahim, 1998). Contoh lain, dalam
hal dana instruksi presiden (inpres) Yang lebih memprihatinkan,
pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan
kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi
yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng
untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk
mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.
Dalam konteks demikian,
pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter
oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional
dan spiritual yang memadai.
Makna pendidikan substansial,
yaitu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jati dirinya
secara “utuh”dan “paripurna” melalui sebuah proses yang dialogis, interaktif,
efektif, menarik, dan menyenangkan, nyaris tak pernah bergaung dalam dunia
pendidikan kita. Dari tahun ketahun, atmosfer pembelajaran di sekolah tak lebih
“memenjarakan” peserta didik untuk bersikap serba patuh, pendiam,
miskin inisiatif dan kreativitas
Pragmatisme
Pendidikan : prioritas uniformitas
Sebagaimana sistem politik yang ada
pada era ini, maka manajemen pendidikan dilaksanakan secara sentralistis. Semua
kebijakan sampai detail ditentukan oleh pusat. Sekolah sebagai lembaga yang
langsung melaksanakan proses pembelajaran tidak memiliki kewenangan yang
memadai. Kebijakan ini memiliki implikasi perencanaan dan upaya peningkatan
mutu bersifat top-down. Akibatnya, peningkatan mutu tidak ada
disekolah-sekolah, dan hanya ada di pusat. Namun sejauh itu, sampai orde baru
berakhir diganti orde reformasi peningkatan mutu juga belum terujud.
Karena peningkatankualitas sekolah tidak bisa dilaksanakan dengan pendekatan
fungsi produksi.
Peningkata mutu sekolah bersifat
interaktif dan kontekstual, yang sangat terpengaruh oleh kondisi sekolah
sebagai suatu entitas yang utuh dan mandiri.Sejalan dengan pemerintahan
Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikanmulai dikesampingkan,
terutama terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila
pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita
lebihmelihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan
Soehartountuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Dalam konteks ini, sudah
saatnya para pelaku dan pemerhati pendidikan perlu mencoba menyelami dunia
politik dan seluk beluknya. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus
aktif untuk memengaruhi para pengambil keputusan (politikus) di bidang
pendidikan.
Dengan begitu kaum
pendidik tidak lagi menjadi objek politisasi pendidikan dan terkungkung
dalam dunianya,melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan ikut
menjadi agen perubahan. Rezim Orde Baru amat yakin akan terjadi mukjizat yang
meneteskan hasil pembangunan kepada rakyat miskin (trickle down effects).
Kejayaan politik dan ekonomi
ternyata tak langgeng karena modal utama pembangunan, yaitu manusia,
terabaikan. Kondisi itu berlanjut hingga kini karena bangsa kita kurang
memiliki modal manusia berkualitas yang diperlukan guna menopang pertumbuhan
dan kemajuan ekonomi. Sepertinya, pemerintah selama ini tetap tak sadar
akan fungsi ekonomi politik pendidikan. Sehingga, akses terhadap pendidikan dan
kesehatan amat buruk dan ini membuat sepertiga atau separuh penduduk Indonesia
masih rentan terhadap masalah kemiskinan, kesehatan dan korupsi.
Kebijakan pendidikan pada masa Orde
Baru diarahkan pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan
di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir
dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial
masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen.
Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan
disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru.Pada masa ini pertumbuhan
ekonomi yang dijadikan panglima.
Pembangunan tidak berakar
pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada utang
luar negeri sehingga melahirkan sistem yang tidak peka terhadap daya saing
dantidak produktif. Berbagai layanan publik tidak mempunyai akuntabilitas sosial
olehkarena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya.
Bentuk pembangunan pada saat
itu mengingkari kebhinekaan serta semakin mempertajam
bentuk primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi
pada peningkatan kualitasmelainkan pada target kuanti
System
Pendidikan : korporatisme kampus
Dalam sistem pendidikan yang ada,
berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta
kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi
sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi
deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk semakin terbatas karena
formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin)
menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi. Kecenderungan mahasiswa berasal dari
kalangan menengah ke atas terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penelitian majalah Balairung UGM
pada tahun 2000 membuktikan terjadi tren penurunan anak buruh, petani, dan
anak guru yang menginjak bangku kuliah di UGM. Karena pada saat yang sama
indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-kritik dari kalangan
pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang terjadinya
paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai
dengan perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari
dalam kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum
pendidikan. Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien. Ketidakpuasan
dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan mahasiswa.
Pada tahun 1994 misalnya berdiri
Dewan Mahasiswa UGM yang tegas menolak korporatisme negara terhadap kampus.
Langsung atau tidak langsung,. Demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan
imbas dari kebijakan pendidikan yang korporatis dan tidak demokratis di
perguruan-perguruan tinggi. Kemandirian suatu bangsa tidak bisa
ditawar-tawar. Bangsa yang tidak mandiri dalam banyak hal, akan sulitmaju,
terutama menyangkut kebutuhan pokok suatu bangsa. Masalah ketidak mandirian itu
pula yang membuat bangsa Indonesia tetap tidak stabil, terutama dari sisi
ekonomi.
Dari sisi ideologi, pendidikan
sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti
dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utamadalam
Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan
perjuangan bangsa yang sakral. Di awal pemerintahannya, Soeharto ketika itu memprioritaskan
pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan utama pemerintah.
Standar
Pendidikan : menekankan kuantitas
Dalam era ini dikenal sebagai era
pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya
pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya
INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum
ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Dalam era
pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan
ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan.
Maka kemerosotan pendidikan nasional
telah berlangsung. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah
menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu.
Akhirnya di tiap-tiap lembaga
pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini
berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat.
Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu
mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Dari hasil manipulasi
ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan
kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya berpengaruh
pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki
otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak
menolong.
Pada akhirnya hasil EBTANAS juga
dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan
mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tingginegeri mulai mengadakan
penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian
diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya. Di samping perkembangan pendidikan
tinggi dengan usahanya untuk mempertahankandan meningkatkan mutunya pada masa
Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam
berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun
dibentuk KOPERTIS-KOPERTIS sebagai bentuk birokrasi baru.
Kebijakan
Pendidikan :
Ada beberapa kebijakan pokok dalam
pendidikan pada masa orde baru, yaitu :
1. Relevansi
Pendidikan,
Yaitu penyesuaian isi pendidikan
dengan kebutuhan pembangunan terhadap sumber dayamanusia yang diperlukan.
Kebijakan ini secara eksplisit muncul pada pelita I, II, III, I dan V.
Setelah perluasan kesempatan
belajar, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan
buta aksara. Kenyataan bahwa masih banyak penduduk yang buta huruf
ditanggapi pemerintahan Soeharto dengan pencanangan penuntasan buta huruf
pada 16 Agustus 1978. Tekniknya adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau
”kejar”. Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok
masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tujuannya, mereka akan mampu
membaca serta menulis huruf dan angka Latin.
Tutor atau pembimbing setiap kelompok
adalah siapa saja yang berpendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan
waktu pelaksanaan dalam setiap kejar bersifat fleksibel. Hingga saat ini
program kejar yang sudah semakin berkembang masih tetap dijalankan.Keberhasilan
program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf
yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta
jiwa,Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang
berstatus butahuruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980,
persentase itu menurunmenjadi hanya 28,8 persen.
Hingga sensus berikutnya tahun
1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.Sasaran yang terungkap dalam
lima
Pelita dalam PJPT
I menunjukkan runtutan
sasaranyang
sistematis; dimulai dengan sektor agraris dan secara bertahap sampai dengan
sektor industri. Sayangnya, dalam prakteknya, sektor agraris seakan-akan
ditinggalkan begitusaja, dan diganti sepenuhnya dengan industrialisasi. Tampak
pemerintah begitu berambisimengikuti pola Barat, yaitu industrialisasi.
Perjalanan dunia pendidikan Indonesiaternyata kembali terulang pada masa
pemerintahan
Rezim Orde Baru, dimana terjadi Liberalisasi
Ekonomi tahap kedua. Focus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi daripada pembangunan
manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi kementerian yang termarjinalisasi
dibandingkan dengan departemen lain. Rosser (2002) mencatat, padatahun 1980-an
Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita)
dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie) merupakan
kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.
Corak politik pemerintah yang
demikian itu selanjutnya menimbulkan paling kurang enam masalah pendidikan.
2. Mutu lulusan pendidikan di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan mutu lulusan pendidikan di negara lain.3. Pendidikan diIndonesia belum menjadi pranata sosial yang kuat dalam memberdayakan sumber daya manusia Indonesia.
4. Pendidikan di Indonesia belum berhasil melahirkan lulusan yang mengamalkan keimanan, ketakwaan, aklak mulia dan budi pekerti luhur.
5. Pendidikan belum mampu mendorong lahirnya masyarakat belajar (learning society) dalam rangka pelaksanaan konsep belajar seumur hidup.
6. Dunia pendidikan kurang sejalan dengan tuntutan dunia kerja dan kebutuhan lokal.
Dahulu kualitas pendidikan bangsa
kita itu diatas negara-negara tetangga seperti Malaysia, tapi saat ini menapa
justru terjadi sebaliknya. Sudah dari zaman Soeharto sebenarnya bukannya
sekarang. Pak Soeharto kan yang pertama kali mengadakan SPP.Jadi seolah
pendidikan itu tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan orang yang
mampu.
2.
Pemerataan
Pendidikan.
Sejak pelita I disadari pentingnya
memberikan kesempatan yang sama dan lebih luas
tentang pendidikan untuk semua warga negara. Kebijakan pemerataan dan
perluasan pendidikan dilaksanakan melalui wajib belajar Sekolah Dasar.
Sejak awal kekuasaannyasebagai Presiden RI, Soeharto berupaya menggarap
pendidikan sebagai hal yang harus dibenahi secara serius. Tiga hal yang cukup
populer di masyarakat adalah program wajib belajar, pembangunan SD inpres,
dan pembentukan kelompok belajar atau kejar.
Dengan mencanangkan “wajib belajar 9
tahun”, termasuk juga yang tak kalah populer adalahdibukanya program SD Inpres
untuk daerah-daerah terpencil dan terisolir diberbagai belahan daerah di
Indonesia. Program wajib belajar dicanangkan pada 2 Mei 1984, diakhir Pelita (Pembangunan
Lima Tahun) III.
Dalam sambutannya saat itu, Soeharto
menyatakan, kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan
adil kepada
seluruh anak usia 7-12 tahun di belahan bumi Indonesia mana pun dalammenikmati
pendidikan dasar.
Seremonial pencanangan dilakukan
secara besar-besaran diStadion Utama Senayan, Jakarta.Program ini memang telah
direncanakan saat Pelita II. Tidak murni seperti kebijakanwajib belajar di
negara lain yang memiliki unsur paksaan dan ada sanksi bagi yangmengabaikan.
Pemerintah hanya mengimbau
orangtua agar memasukkan anaknya yang sudah cukup umur ke sekolah. Negara
bertanggung jawab terhadap penyediaan saranadan prasarana pendidikan yang
dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, disamping tenaga guru
dan kepala sekolah. Karena tidak ada sanksi, dalam prosesnyahingga kini, masih
ditemukan anak-anak pada kelompok usia pendidikan dasar yang
tidak bersekolah.
Upaya pelaksanaan wajib belajar 9
tahun pada kelompok usia 7-15 tahun dimulai saatdiresmikannya Pencanangan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994.Kebijakan ini diperkuat dengan
dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1Tahun 1994. Program wajib
belajar yang dimulai Soeharto di akhir Pelita III diakui telahmeningkatkan taraf
pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah
peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar.Sebelum wajib
belajar dicanangkan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar didahului
dengan dikeluarkannya Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan
Gedung SD. Tujuan penerbitan kebijakan ini adalah untuk memperlua
3. Peningkatan
Mutu Guru atau Tenaga Kependidikan
Barangkali tidak semua kita masih
ingat bagaimana, Bank Dunia pada tahun-tahun akhir 1970-an dan awal tahun
1980-an memberikan resep untuk meningkatkan efektivitas pendidikan guru
dengan merombak kurikulum IKIP yang semula mirip kurikulum Universitas menjadi
khas IKIP, dimana kurikulum baru ini terlalu berlebih-lebihan menekankan
pembelajaran dan mengurangi secara besar-besaran materi bidang studi. Para
pedagog yang tidak sefaham dengan resep ini dengan sinis mengatakan bahwa “di
kurikulum IKIP yang baru ini, “bagaimana cara memegang kapur pun
diajarkan”.
Dari kebijakan ini hasilnya luar
biasa, mutu guru lulusan IKIP merosottajam. Guru menguasai berbagai pendekatan
dan metodologi mengajar, tetapi tidak menguasai apa yang harus
diajarkan.Kebijakan ke dua dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan
meningkatkan kualitas guru lewat projek peningkatan mutu guru yang dilakukan
dengan model pelatihan guru yang sangat terencana mulai dari teori,
praktik sampai on the job training di sekolah-sekolah masing-masing.
Mereka yang dilatih di pusat menjadi
guru inti, yang bertugas mengembangkan pelatihan bagi para guru di daerah
masing-masing. Proses ini, berhasil melatih dan meningkatkan kualitas
kemampuan professional ribuan guru.Sayangnya, ketika beberapa tahun proyek
telah usai dan evaluasi dilakukan oleh lembagaindependen, kesimpulan sangat menarik.
Yakni, pelatihan telah berhasil meningkatkankualitas profesional guru tetapi
tidak berhasil meningkatkan mutu siswa. Karena peningkatan kualitas
kemampuan professional guru belum menjamin peningkatan kualitas pembelajaran.
Terdapat faktor sekolah sebagai suatu entitas yang utuh.
4. Mutu
pendidikan.
Sejak pelita I s.d pelita V mutu
pendidikan terus-menerus dijadikan salah satu kebijakan pokok. Peningkatan
mutu pendidikan di era orde baru cenderung secara patuhmelaksanakan kebijakan
Bank Dunia.(Zamroni, 2009). Atmosfer pembelajaran dalamdunia persekolahan kita
terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan,sehingga gagal
melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral sepertiyang
didambakan oleh masyarakat.
Paling tidak ada dua argumen yang dapat dikemukakan.
Pertama, diterapkannya sistem single-track yang “membutakan” peserta didik
dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya,
sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap
persoalan-persoalan hidup. Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan dunia
pendidikan meminjam istilah Zamroni sebagai engine of growth; penggerak dan
loko pembangunan. Agar proses pendidikan efisien dan efektif,
pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen
bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan danteori-teori.Namun,
disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membikin
dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi
denganmunculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan
vokasional yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah
di era orde baru juga menekankan ketersediaan fasilitas, seperti pergedungan
dan ruang kelas, laboratorium, dan buku teks disamping pembaharuan
kurikulum.
5. Pendidikan
Kejuruan
Sesuai dengan gerakan pembangunan
telah disadari sejak pelita I akan langkanya tenaga-tenaga terampil. Oleh
karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan mendapat prioritassejak pelita I
s.d pelita V. Hingga awal tahun 90-an menurut Dody Heriawan
Priatmoko, paling tidak ada 3 permasalah pendidikan di Indonesia, yakni :
Pertama, adalahkurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan
memperoleh pendidikanhanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kedua, adalah
rendahnya tingkat Relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan yangmenganggur. Data BAPPENAS yang
dikumpulkan sejak 1990 menunjukan angka penganggur terbuka yang di hadapi
oleh lulusan SMU sebesar 25,47 %, Diploma.
3. Kebijakan Pendidikan Pemerintahan BJ Habibie
Sebenarnya agak sulit memisahkan era
Habibe dan era Soeharto, karena dari kacamata krisis dan kebijakan, era ini
adalah kelanjutan dari era Soeharto. Itulah sebabnya lebih tepat bila dikatakan
bahwa era ini adalah era ekonomi pasca 21 Mei. Upaya untuk melihat
perkembangan ekonomi di era Habibie mungkin bisa dilihat dari beberapa
indikator berikut.Nilai tukar dan pasar modal, uang beredar, defisit anggaran
dan inflasi. Ada faktor lain yang juga berperan, seperti kekuatiran terhadap
masalah politik dan keamanan [19]
Otonomi dan
tren pendidikan tinggi
Isu otonomi pendidikan sebenarnya
hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah
institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar.
Konsep ini jelas datang dari semangat
kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikanopini
mereka terjamin. Di dalam Magna Carta of European Universities yang
ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa
dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah
masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya.
Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik,
dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Di samping soal
otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas
merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan.Isu
tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi
pendanaan,dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa
kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan
secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).
Dalam rangka
menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka
atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta
kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu
ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah
kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas
dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga
keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset.Selain itu, universitas
diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum
tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka
pemanfaatan sumber daya dan teknologi.
4. Kebijakan Pendidikan Pemerintahan Abdul Rahman Wahid
Menuju
Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan, merupakan
salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias
masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui
produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan
desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No.
25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004
dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan
sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dankabupaten/kota) serta
perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah
bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang
pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah
disisi lain.
Sebuah sistem pendidikan nasional
yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini
secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan. Sekolah
dan pendidikan adalah dua hal yang bertentangan.
Pendidikan tidak bisa disempitkan pada
pendidikan formal semata. Ia mencakup aspek yang begitu luas, yangoleh Johannes
Muller dicatat sebagai ''segala upaya masyarakat serta hasil-hasilnya
yang bertujuan meneruskan dan menyediakan pengetahuan dan keterampilan,
sikap dan polatingkah laku yang perlu demi kelangsungan ataupun perubahan
masyarakat itu, denganmenawarkan kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua
orang demi perkembangan manusia seutuhnya''.
Muller mengatakan bahwa
pendidikan menyangkut masyarakat seluas-luasnya: pendidikan informal
(keluarga, tempat kerja, agama), pendidikan formal di sekolah(termasuk
perguruan tinggi), pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (pendidikan orang
dewasa), media massa (sebagai ''guru tersamar''), dan segala kebijakan politik
yang menyangkut medan pendidikan.
Semakin jelas bahwa
menyelenggarakan pendidikan(yang ideal) belumlah menjadi hal mudah. Kebijakan
politik yang menyangkut pendidikan saja misalnya, Soedrajat Djiwandono
masih menyimpan sejumlah catatan yang dituangkan secara tajam dalam artikel
bertajuk "Politik Mandek, Pendidikan Pun Macet".Telah disebutkan
dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya sendiri sesuai
tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak
aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep
desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi
dinegeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif
terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan
beberapa masalah utama,antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat
kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di
negara kita.
5. Kebijakan
Pendidikan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri
Dalam hal membangun Manusia Indonesia yang berkualitas,
berwawasan kebangsaan, berperi-kemanusiaan, berkeadilan dan berKetuhanan;
dengan sendirinya menempatkan peran kebudayaan menjadi suatu wilayah strategis yang harus mendapat perhatian khusus.
Dengan demikian, pembangunan mental dan karakter bangsa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Terutama pada saat nilai-nilai moral dan spiritual bangsa yang dapat meningkatkan
kualitas manusia Indonesia sebagai mahluk yang berakal, berkarakter dan berbudi luhur, dijadikan dasar pijakan pembangunan dimaksud.
Rangkaian inilah
yang seharusnya kita jadikan sebagai strategi Nasional dalam mencari dan
mendudukkan jati diri bangsa.
Hanya dengan akal
yang sehat dan budi yang luhur, bangsa Indonesia akan mampu memanfaatkan
perkembangan ilmu dan teknologi untuk tujuan kemanusiaan dalam
peradaban abad XXI mendatang.
Mengutip Vincent Navarro, pokok kebijakan neoliberalisme adalah sebagai berikut; (i)
deregulasi pasar tenaga kerja, melalui penerapan sistim kontrak danoutsourcing,
(ii) deregulasi pasar financial, (iii) deregulasi perdangan barang dan
jasa,(iv) mengurangi subsidi dan jaminan sosial untuk public, (v) privatisasi
dan penjualan aset-aset strategis, (vi) mempromosikan individualisme dan konsumerisme, (vii) pengembangan teori dan narasi yang memuji-muji keunggulan pasar, (viii)mempromosikan anti-intervensionisme.
Secara teoritis, bagi penganut neoliberal, privatisasi
dimaksudkan sebagai jalan untuk mengatasi masalah kekurangan financial, untuk membuat pelayanan menjadi lebihefisien, serta
mengindari distorsi pada makro dan mikro ekonomi akibat pelayanan publicgratis
(Carlos Vilas). Pada kenyataannya, privatisasi telah mengarah para pengguna
jasauntuk membeli dengan harga yang lebih
mahal, karena perusahaan yang terprivatisasikini menggunakan kriteria
bisnis dan mencari keuntungan (profit).kebijakan
privatisasi berdasarkan desakan dari luar, khsusunya IMF dan bank dunia.Bedanya, jika Megawati hanya melanjutkan kesepakatan yang dibuat pemerintahan sebelumnya, Habibie, melalui stuctrual adjustment program (SAP), maka SBYmenjalankan
privatisasi dengan dimandori secara lansung oleh Bank Dunia
Pendidikan Murah : Sebagai
Kemustahilan
Pendidikan
murah dan gratis adalah pandangan yang bertentangan dengan kenyataan. Bahkan seperti dikatakan Presiden Megawati Soekarnoputri
dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional di SMU 13,
Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (5/5), "pandangan itu sangat menyesatkan". Menurut Megawati,
pendidikan membutuhkan biaya sangat besar. Saat ini saja, negara
mengalokasikan seperlima dari anggaran belanja negara untuk pendidikan, tapi tetap dirasa belum memadai.
"Saya kira, tidak ada di antara kita yang akan berpikir dua kali untuk mengalokasikan dana lebih besar untuk
kepentingan generasi masa depan," kata Megawati.
Berbicara
masalah pencerdasan bangsa, kami percaya bahwa kunci utamanya adalah meningkatkan kualitas pendidikan di satu sisi dengan
tanpa mengurangi perlunya pendekatan
kuantitatif di sisi lain. Dalam kaitan ini, satu hal yang perlu diperhatikan adalah
kebutuhan mendesak akan pentingnya peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.
Karena tanpa guru yang sejahtera, tidak mungkin kita akan capai pendidikan yang bermutu dan sehat. Secara pribadi saya menganggap,
guru sebagai tiang budaya pendidikan bangsa. Maka bila
tiang itu tidak pernah berdiri kokoh, maka jangan harapkan rumah pendidikan
bangsa kita dapat tegak berdiri sebagaimana yang diidamkan. Hal lain yang
perlu kita pikirkan bersama adalah; perlunya memperjuangkan otonomi institusi pendidikan
negeri maupun swasta berikut otonomi para pendidik yang sangat diperlukan untuk mencegah terciptanya pola pendidikan yang
bersifat birokraktif dan indoktrinatif .
Kebebasan dan kemerdekaan berpikir yang tetap
dalam koridor ilmiah dan keilmuan,harus sepenuhnya dijamin untuk dapat
dilaksanakan. Campur tangan pemerintah yang membatasi ruang kebebasan
menentukan pilihan proses belajar dan mengajar, hanya akan membawa bangsa ini kepada penyempitan sudut
pandang, maupun penyeragaman pola pikir yang satu arah dan kering nuansa.
Dalam hal ini, memperlebar ruang bagi setiap warga negara untuk bebas berekspresi dan bebas membangun harapan-harapannya,merupakan keharusan yang
bersifat mutlak.
Bahkan lebih jauh lagi, kebebasan
artistik atau kebebasan mengekspresikan estetika berdasar kan pilihan
pribadi sebagai mahluk budaya, sudah saatnya diperkenalkan dan
ditumbuh kembangkan dalam kehidupan kita. Biarkan anak-anak kita bermain dengan imajinasi-imajinasi yang sesuai dengan dunianya,
baik dunia nyata yang digelutinya sehari-hari, maupun dunia khayalan
yang berdatangan dalam mimpi-mimpi mereka.
Jangan sampai kita biarkan anak-anak kita menjadi miskin imajinasi dan kering
daya khayalnya. Karena sebuah
bangsa yang kering imajanasi dan miskin daya khayalnya, tak ubahnya bak
pohon kekar kerontang penuh duri, tanpa sehelai daun maupun bunga yang memberikeindahan dan kedamaian bagi kehidupan diskelilingnya.
Bangsa yang
demikian adalah bangsa yang kering dan yang tak akan pernah
mengenali betapa indah dan nikmatnyaaroma kehidupan pada saat
imajinasi rakyat bangsanya mampu menembus dinding waktu dan perdaban yang jauh ke depan.
Untuk meningkatkan dana pendidikan, kata Megawati, masih terbatas kondisi perekonomian. "Sungguh tidak mudah membagi kue
anggaran yang sedemikian kecil untuk mendanai banyak kebutuhan. Memperbesar alokasi untuk satu bidang, akan mengurangi
alokasi untuk bidang lainnya," kata Megawati.
Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan
adalah memperbesar kue anggaran dan menggalakkan kampanye anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kaum tani dan
nelayan, yang merupakan bagian terbesar dari warga negeri ini, tambah
sulit mencari nafkah.
Reformulasi Konsep Pendidikan
"Dunia
pendidikan dapat memberi andil dengan membina kehidupan kerohanian disekolah
dan di rumah tangga. Dalam tiap rumah tangga harus ditanamkan, KKN ituadalah
jahat," kata Megawati. Walau demikian, tetap tidak jelas apa yang harus
dilakukan pemerintah untuk meningkatkan
pendidikan. Pendidikan dalam perspektif demokrasiadalah sebuah komponen yang
vital. Dalam membangun demokrasi, tak pelak proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang
merdeka, berpikir kritis dan sangatfamiliar dalam praktik-praktik demokrasi.
Sejarah
mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan
barat lah yang memegang peranan penting
sebagai penggagas ghirah kebangsaan dan
sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik ini. Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah
dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah
menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh pemerintah (baca: penguasa) menuntut
penerimaan masyarakat secara paksa (passiveac ceptance). Keran demokrasi
dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana padamasa reformasi sekarang ini.
Maka dari itu
pula, reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan dapat segera
diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikandijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan
menjadifokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi
pendidikan di eraotonomi daerah saat ini. Diantara berbagai kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah pascaorde baru (orde
reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yang menentukan kiprah
bangsa ini di masa depan.
Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk
melalui sistem pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak hanya
pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung jawab bersama.
Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan bernegara yang menuju kearah civil
society sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin
segar sekaligus kesempatan besar dalam reformasi di segala bidanguntuk kemajuan
bangsa.
Sekali
lagi, pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi pula pada
percaturan internasional.Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa
depan bukan milik suatu bangsaatau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan
mampu diraih bangsa manapun,termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang.
Masa
otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU
inilah perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-peraturan
(PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri.
Perjalanan pendidikan
nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis –kalau tidak dapat disebut liberal– ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen
kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional,“privatisasi” perguruan tinggi negeri –dengan status baru yaitu Badan
Hukum Dalam
konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan
akademis dan
intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa
secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa
dengan budaya-budaya korupsi kolusi
dan nepotisme,dimana
peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak
semestinya.
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan
nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai
dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan
direaktualisasi.
Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi
diIndonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis
seperti digagas Murbandono Hs (1999).
Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi
daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004)
dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan
mendesak.
6.Kebijakan
pendidikan diIndonesia zaman Susilo Bambang Yudhoyono
Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah
memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan
baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi
berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari
sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah
menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara
memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%)
dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan
belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional." [20]
Dengan didasarkan
oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU
No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka
pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat
diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan
pendidikan.
Pendidikan di era
reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22
tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang
didesentralisasikan.
Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen
Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia
yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003
pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional
menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami
sebagai:
“usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara." [21]
Konsep
kebijakan pemerintah
Anggaran
Pendidikan 20 % dari APBN/APBD
Pada pemerintaan SBY tahun 2004-2009, anggaran pendidikan
ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20% dari APBN dan APBD, sehingga banyak
terjadi reformasi di dunia pendidikan, terutama dalam dalam pemberian dana
Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Wajib Belajar 9 tahun, dan peningkatan
standar penghasilan Guru dengan adanya sertifikasi guru, serta pemberian
bantuan pendidikan (Beasiswa) untuk peningkatan Kompetensi guru, dan sebaginya.
Hanya dalam pelaksanaannya leading sektor yang menangani bidang pendidikan
dalam hal ini Departemen Pendidikan nampaknya gagap dengan anggaran yang besar
tersebut, sehingga banyak program yang belum menyentuh, hanya sekedar
menghabiskan dana dengan hanya mengadakan kegiatan seminar-seminar saja.
Kebijakan-kebijakan pemerintah
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan
nasional bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen
sebagai tenaga profesional mempunyai
visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip
profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam
memperoleh pendidikan yang bermutu.
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen
Pasal 2 ayat ( 1 )
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa
pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kualifikasi
akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk
setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Pasal ( 4 ) Yang
dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran
(learning agent) adalah peran
guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran,
dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar
nasional pendidikan
BAB 1 Pasal 1 Dalam pasal ini menyebutkan yang dimaksud dengan standar nasional
pendidikan adalah kriteria minimal tentang
sistem pendidikan di seluruh wilayah
Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB 11 Pasal 2 Lingkup Standar Nasional Pendidikan meliputi:
a.
Standar isi;
b.
Standar proses;
c.
Standar kompetensi lulusan;
d.
Standar pendidik dan tenaga
kependidikan;
e.
Standar sarana dan prasarana;
f.
Standar pengelolaan;
g.
Standar pembiayaan; dan
h.
Standar penilaian pendidikan.
Peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2009 tentang tunjangan
profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan
kehormatan guru besar
BAB 1 Pasal 1 Dalam
peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi
peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
c.
Kesimpulan
Dari
paparan makalah tentang kebijakan pendidikan diindonesia masa pemerintahan orde
lama sampai era reformasi maka penulis dapat mengampil
simpulan diantaranya:
Orde lama
merupakan satu fase yang berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi,
kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945
yang menyebutkan salah satu cita-cita
pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa.
Era
orde lama menghapuskan sistem pendidikan elitisme dan memberlakukan
politik persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama,Komunis.
(sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim).
Pemerintahan
Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia
Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. dan menemukan empat masalah
pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi
pendidikan.
Isu otonomi pendidikan sebenarnya
hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik bagi sebuah
institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar adalah merupakan acuan sistem
kebijakan pemerintahan B.J. Habibie.
Desentralisasi pendidikan, merupakan
salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias
masa pendidikan di era otonomi daerah. Desentralisasi pendidikan menjadi acuan
bagi Abdul Rahman Wahid dalam kebijakan pendidikannya.
Dalam hal
membangun Manusia Indonesia yang berkualitas, berwawasan
kebangsaan, berperi-kemanusiaan, berkeadilan dan berKetuhanan; dengan
sendirinya menempatkan peran kebudayaan menjadi suatu wilayah strategis yang harus mendapat perhatian khusus.
Era
reformasi telah memberikan
ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan
pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum
menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah
dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik.
Anggaran pendidikan ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20% dari APBN dan
APBD, sehingga banyak terjadi reformasi di dunia pendidikan.
[1]Mukhtar,
Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, h 413
2 Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali
Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa Ideologi , News letter KOMMPAK Edisi I
2007.
.http://alif lukmanulhakim. blogspot.com.
3 Haryatmoko, “Menuju Orientasi Pendidikan
Humanis dan Kritis”, dalam buku Menemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan,
(Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67.
4
Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16.
5 Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya
Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at11:41 PM ,
http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/Abdurrohim.
6Ibid
7 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan
Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87.
8 A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut
William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.
9 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan
Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 92.
10 Ibid, 2009, hlm. 92.
11Ibid
12Awaludin Marwan, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita, Senin, Juni 01, 2009
13 Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur;
Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.Yogjakarta. Hal. 28
14H.A.R Tilaar, Kebijakan Pendidikan,
(yogyakarta:Pusat Belajar, 2002) h 2
15 Sejak T,B Silalahi menjadi Menteri
Penertiban Aparatur Negara (PAN), latihan prajabatan calon-calon guru pegawai
negeri sipil (PNS) tidak di bawah penanganan pakar akademisi, peneliti, atau
pekerja sosial, yang dekat dengan profesi guru, melainkan di bawah instruksi
militer. Dengan sendirinya wacana yang ditawarkan bukanlah soal perluasan ilmu
pengetahuan dan pendalaman filosofi pendidikan, melainkan direduksi menjadi
aktivitas fisik, dengan asumsi bahwa seorang guru perlu memiliki stamina
(fisik) yang kuat untuk menjalankan tugasnya.
16Riant Nugroho, Ibid
17“Link and match” merupakan upaya pemerintah
pada waktu itu untuk mengurangi pengangguran terdidik, dengan maksud untuk
menyesuaikan antara jumlah lulusan dengan kebutuhan pasar. Hal ini dijelaskan
dalam UU yang dibuat pada tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang
berisi “pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik…bagi
peranannya di masa yang akan datang”.
18 Ibid, 2008, hlm.20
19 Chie Nakane. 1986. Criteria of Group
Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Cultureand Behavior. Editor Takie
Sugiyama Lembra & William P Lebra.University of Hawaii. Hawai
20 UUD 1945 amandemen keempat, pasal 31
ayat 4.
21 Standar Nasional Pendidikan,
(Jakarta: Cemerlang, 2005), hlm. 102.
Daftar Pustaka
Alif Lukmanul Hakim, 2007, Merenungkan Kembali Pancasila
Indonesia, Bangsa Tanpa Ideologi ,
Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.http://alif lukmanulhakim.blogspot.com.
Abdurrohim,
Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin
at11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/Abdurrohim
Awaludin Marwan, 2009, Menggali
Pancasila dari Dalam Kalbu Kita. Jakarta
Bagus Takwin. 2003, Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke
Pemikiran Timur. Jalasutra.Yogjakarta
Budiman, Hikmat, 2002, Lubang Hitam Kebudayaan ,
Kanisius, Yogyakarta
H.
A.R Tilaar, 2002, Kebijakan Pendidikan, yogyakarta:Pusat Belajar
Haryatmoko,
2008, “Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”, dalam buku Menemukan
Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, Jakarta: Departemen Komunikasi dan
Informatika
Moh.
Yamin,2009, Menggugat Pendidikan
Indonesia. Jogjakarta: Ar Ruz
Muhtar,
2009, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta GP Press
Rianti
Nugroho,2008, Pendidikan Indonesia:
Harapan, Visi,dan Strategi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
UUD
1945 amandemen keempat, pasal 31 ayat 4.
ANONIM ,
2005, Standar Nasional Pendidikan,
Jakarta: Cemerlang.