Sabtu, 11 Agustus 2012

KEBIJAKAN PENDIDIKAN DI INDONESIA MASA PRESIDEN DI INDONESIA, SUKARNO, SUHARTO, HABIBI, GUSDUR, MEGA, DAN SUSILO BAMBANG YUDHOYONO








Tugas  Semester
Kebijakan   Pendidikan   Di Indonesia   Masa   Presiden   Di Indonesia,  Soekarno Soeharto,  Habibie,  Gus Dur,  Mega,  Dan  Susilo Bambang Yudhoyono

Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Mukhtar.  M.Pd
Politik Pendidikan



  Disusun Oleh:
Muhammad Bakri, S.Pd.I
NIM: P.p. 210.2.1315 

















Program Pasca Sarjana Konsentrasi Kurikulum Pendidikan  Islam  Institut  Agama  Islam   Sulthan Thaha Syaifudin Jambi
2012/1433




















  1. Pendahuluan

Pada hakikatnya kebijakan pendidikan merupakan suatu peraturan yang berfungsi sebagai kontrol yang mempunyai fungsi: (1) sebagai pemersatu bangsa, (2) perluasan kesempatan, dan (3) sebagai pengembangan diri. Dengan demikian pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan bangsa dalam negara kesatuan republik indonesia (NKRI), memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negara untuk ikut serta dalam rangka pembangunan, dan memungkinkan setiap individu untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.

UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional merupakan dasar hukum penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Misi pendidikan nasional adalah untuk mengupayakan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat indonesia, meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing ditingkat nasional, regional, dan internasional. [1]  

Sistem pemerintahan berganti, berganti pula ideologi/cita-cita negaranya. Pada masa pemerintahan Soekarno, skenario yang pertama kali dilakukan oleh Soekarno dan kabinetnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Semenjak  proklamasi 17 agustus 1945, sekolah-sekolah yang telah dibangun pada masa pendudukan Jepang dilanjutkan dengan serba kekurangan. Namun demikian, dasar-dasar  pendidikan nasional telah disempurnakan dan disesuaikan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Masa revolusi pendidikan nasional mulai meletakkan dasar-dasarnya. [2]

Sejarah pendidikan di Indonesia modern  dimulai dengan lahirnya gerakan Boedi Oetomo di tahun 1908, “Pagoeyoeban Pasoendan” di tahun 1913, dan Taman Siswa di tahun 1922. Perjuangan kemerdekaan menghasilkan kemerdekaan RI tahun 1945.
Di Indonesia, berubahnya subsistem pendidikan (kurikulum, UU) biasanya tidak ditanggapi dengan antusiasme, namun malah sebaliknya membuat masyarakat ragu apakah penguasa di Indonesia memiliki visi pendidikan yang jelas atau tidak. Visi pendidikan diharapkan mampu menentukan tujuan pendidikan yang jelas.
Karena, tujuan pendidikan yang jelas pada gilirannya akan mengarahkan ke pencapaian kompetensi yang dibutuhkan serta metode pembelajaran yang efektif. Dan pada akhirnya, kelak pendidikan mampu menjawab tuntutan untuk mensejahterakan  masyarakat dan kemajuan bangsa. Setidaknya ada empat tujuan  yang menjadi idealisme pendidikan. [3]
Pada masa revolusi sangat terasa serba terbatas, tetapi bangsa kita dapat melaksanakan pendidikan nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Kita dapat merumuskan Undang-Undang Pendidikan No. 4/1950 junto no. 12/ 1954. Kita dapat membangun sistem pendidikan yang tidak kalah mutunya. Pendidikan memang tidak bisa terlepas dari tujuan negara atau pemerintah.





Pada masa kepemimpinan bung Karno, pemerintahannya menginginkan pembentukan masyarakat sosialis Indonesia. Untuk itu, tujuan pendidikan disesuaikan dengan tujuan negara. Walau bagaimanapun, hal ini dianggap penting karena dengan adanya penyesuaian tujuan pendidikan dengan tujuan pemerintah atau negara,maka menjadi jelaslah arah pelaksanaan pendidikan pada suatu negara. Para pengajar, pelajar melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya walaupun serbaterbatas.
 Soekarno, presiden pertama Indonesia membawa semangat “nation and character building” dalam pendidikan Indonesia. Di seluruh pelosok tanah air didirikan sekolah, dan anak-anak dicari untuk disekolahkan tanpa dibayar. Untuk meningkatkan kualitas guru, didirikan pendidikan guru yang  diberi nama KPK-PKB, SG 2 tahun, SGA/KPG, kursus B-1 dan kursus B-2. [4]
Dengan segala keterbatasan itu memupuk pemimpin-pemimpin nasional yang dapat mengatasi masa pancaroba seperti rongrongan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sayang sekali pada akhir era ini pendidikan kemudian dimasuki oleh politik  praktis atau mulai dijadikan kendaraan politik. Jika dibandingkan dengan sekarang, yaitu tidak ada kejelasan tujuan pendidikan yang dilaksanakan dan cenderung diwarnai arus menyambut globalisasi.
  1. Pembahasan

  1. Kebijakan pendidikan masa presiden sukarno

Kebijakan pendidikan pada masa presiden sukarno yang pernah dilaksanakan oleh bangsa Indonesia, yang sesuai dengan tujuan negara, yaitu pendidikan sosialisme Indonesia oleh  pemerintahan Ir. Soekarno (1961-1966). Menteri pendidikan pertama Ki Hajar Dewantara beberapa bulan sesudah proklamasi kemerdekaan mengeluarkan Instruksi Umum, yang isinya : menyerukan kepada para pengurus upaya  membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan patriotisme. Selain itu, anak yang berumur 8 tahun diwajibkan memperoleh pendidikan Sekolah Dasar. Pelaksanaan wajib belajar menghadapi berbagai masalah, Jumlah sekolah dan guru belum memadai apalagi wajib belajar itu akan dilaksanakan. Jumlah guru yang dididik masih sangat terbatas, selain lulusan sekolah-sekolah guru Zaman kolonial. [5]

Pada Orde Lama sudah mulai diadakan ujian-ujian negara yang terpusat dengan sistem kolonial yang serba ketat tetapi tetap jujur dan mempertahankan kualitas. Hal ini didukung karena jumlah sekolah belum begitu banyak dan guru-guru yang ditempa pada zaman kolonial. Pada zaman itu siswa dan guru dituntut disiplin tinggi. Guru belum berorientasi kepada yang material tetapi kepada yang idel. [6]. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. [7]
Sosialisme Indonesia yang dijalankan oleh pemerintah, di tingkatan kebijakan, sampai penerapannya dilingkungan pendidikan formal, SMP, SMA, dan perguruan tinggi,merupakan salah satu cara mensejalankan tujuan pendidikan dengan tujuan negara. Pemerintah membuat suatu kurikulum yang sesuai dengan tujuan tersebut, dan lahirlah mata pelajaran Ilmu Kewargaan Negara atau Civics, yang diajarkan di tingkat SMP dan SMA.
 Sosialisme Indonesia merupakan salah satu materi dalam mata pelajaran tersebut. Pendidikan sosialisme Indonesia didapat melewati akal dan pengalaman empiris. [8]
Seokarno pernah berkata:






“…sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan taman siswa itu satu persatu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat ‘menurunkan’ kebangunan ke dalam jiwa sang anak, " [9]
Dari perkataan Soekarno itu sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD. [10]
 Indonesia di era Soekarno (Orde Lama), merupakan negara yang sarat dengan cita-cita sosialisme. Cita-cita sosialisme ini termasuk juga dalam bidang pendidikan. Statuta Universitas Gadjah Mada (UGM) tahun 1951 sangat tegas menyatakan bahwa tujuan UGM adalah menyokong sosialisme pendidikan. Namun pada tahun 1992, di bawah kekuasaan Orde Baru, statuta ini diganti dengan banyak perubahan pada isinya satu perubahannya adalah menghilangkan pasal mengenai tujuan menyokong sosialisme pendidikan Indonesia.
 Indonesia pada era tersebut sangat mendukung pendidikan sebagai satu alat akselarasi masyarakat menuju masyarakat adil dan makmur sesuai cita-cita UUD 1945 [11]
Pendidikan Elitisme
Selain kolonialisme dan imperialisme, di mata Soekarno ada tantangan besar lain yang tak kalah pentingnya untuk dilawan, yakni elitisme. Elitisme mendorong sekelompok orang merasa diri memiliki status sosial-politik yang lebih tinggi daripada orang-orang lain, terutama rakyat kebanyakan. Elitisme ini tak kalah bahayanya, menurut Soekarno, karena melalui sistem feodal yang ada ia bisa dipraktikkan oleh tokoh-tokoh pribumi terhadap rakyat negeri sendiri. Kalau dibiarkan, sikap ini tidak hanya bisa memecah-belah masyarakat terjajah, tetapi juga memungkinkan lestarinya sistem kolonial maupun sikap-sikap imperialis yang sedang mau dilawan itu. Lebih dari itu, elitisme bisa menjadi penghambat sikap-sikap demokratis dalam masyarakat modern yang dicita-citakan bagi Indonesia merdeka.

Dalam kaitan dengan usaha mengatasi elitisme itu ditegaskan bahwa Marhaneisme“menolak tiap tindak borjuisme” yang, bagi Soekarno, merupakan sumber dari kepincangan yang ada dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang tidak seharusnya berpandangan rendah terhadap rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Ruth McVey, bagi Soekarno rakyat merupakan “padanan mesianik dari proletariat dalam pemikiran Marx,” dalam arti bahwa mereka ini merupakan “kelompok yang sekarang ini lemah dan terampas hak-haknya, tetapi yang nantinya, ketika digerakkan dalam gelora revolusi,akan mampu mengubah dunia.”Dasar garis politik Persatuan Nasional telah dilukiskan. Bung Karno pada tahun 1926 dalam artikel "Nasionalisme, Islam dan Marxisme". Kemudian garis politik persatuan nasional tersebut menjiwai dasar negara Pancasila 1 Juni 1945.

Dan ketika Bung Karno memegang kendali pemerintahan setelah Dekret Presiden Juli 1959 garis politik  persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama,Komunis. (sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim).
Seperti kita ketahui sejak Nopember 1945 sampai Juli 1959 Bung Karno tidak mempunyai kekuasaan sebagai Kepala Pemerintahan (Eksekutif), tetapi hanya sebagai Kepala Negara.







Politik Pendidikan : implikasi kebijakan luar negeri

Orde Lama merupakan satu fase yang berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa. Di dalam kampus muncul kebebasan akademis yang luar biasa, ditandai dengan fragmentasi politik yang begitu hebat di kalangan mahasiswa. Mahasiswa bebas beroroganisasi sesuai dengan pilihan atau keinginannya [12]. Kebebasan berpendapat,memang sempat muncul juga pembredelan pers oleh Soekarno, namun relatif lebih baik dibandingkan masa Orde Baru yang pada suatu waktu (setelah peristiwa demonstrasimahasiswa 1978) pernah membredel 15 media massa sekaligus.

Inilah salah satu erakeemasan bagi gagasan dan ilmu pengetahuan di Indonesia. Karakteristik kebijakan luar negeri Indonesia pada awal terbentuknya sangat ditentukan oleh kondisi bangsa yang masih prematur. Pemikiran- pemikiran politik Soekarno yang cenderung nasionalis radikal ( Munawar Ahmad, 2007: 21) dan anti-kolonialis. Semangat yang menarik selama pemerintahan Orde Lama adalah pergeserannya arah kebijakan politik eksternalnya yang tiba-tiba. Setelah memerdekakan Indonesia, Soekarno lebih  condong ke Barat tapi berubah drastis saat mengetahui kenyataan Barat (dalam hal ini Amerika Serikat) tidak mendukung upaya diplomasi RI dalam mengembalikan Irian Barat ke pangkuan ibu pertiwi.

Akibatnya, Soekarno mengubah haluan politik eksternalnya ke Blok Timur yang dikenal sebagai lawan sentral Barat. Ini dibuktikanadanya kedekatan Indonesia dengan Uni Soviet dan China serta dibukanya Poros Jakarta-Peking.Aliran romantisme rupanya sangat mempengaruhi kepribadian Soekarno.

Ini terlihat dengan kebijakan luar negerinya yang lebih bersifat konfrontatif. Baginya wilayah RI adalah sebagai mana pernah dimiliki Negara Kesatuan RI yang pertama yakni saat berada di bawah kekuasaan Majapahit. Akibatnya, Soekarno menganggap Semenanjung Malaya (yang meliputi Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam) sebagai bagian dari RI. Kepercayaannya semakin tinggi saat dapat mengembalikan Irian Barat ke dalam wilayahIndonesia.  Politik konfrontatifnya amat kentara saat mendapati realita pembentukan negara Federasi Malaya oleh Inggris. Ia memandang hal tersebut sebagai upaya Barat, terutama Inggris,untuk membentuk alat dalam melestarikan kehadiran dan pengaruhnya di Asia Tenggara, khususnya Malaysia dan Indonesia ( Mohammad Hatta, 1965: 140).
Perumusan kebijakan saat Orde Lama berkuasa juga sangat ditentukan oleh eskalasi politik internal Indonesia yang sedang bergejolak dalam menghadapi disintegrasi bangsa. Banyak pergolakan politik baik nasional maupun daerah yang terjadi saat itu [13]. Pemberontakan PKI di Madiun1948, pemberontakan bersenjata PERMESTA di Sulawesi Selatan, PRRI di Sumatra, Darul Islam Di Jawa Barat (Bambang Cipto, 2007: 89) benar-benar menguras energi politik, ekonomi dan birokrasi pemerintahan Soekarno.





Kebijakan Pendidikan : memenuhi kemandirian ekonomi

Kebijakan pendidikan saat itu dilakukan secara sentralistik, sebagaimana dijelaskan oleh Tilaar (2000:2) bahwa kebijakan pendidikan di masa ini diarahkan kepada prosesindoktrinasi dan menolak segala unsur budaya yang datangnya dari luar. [14] Dengan demikian pendidikan bukan untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat, bukan untuk kebutuhan pasar melainkan untuk orientasi politik. Indroktrinasi pendidikan mulai dari jenjang sekolah dasar sampai pendidikan tinggi diarahkan untuk pengembangan sikap militerisme yang militan sesuai dengan tuntutan kehidupan di suasana perang dingin padasaat itu.

Pendidikan pada masa ini diarahkan untuk memenuhi kemandirian ekonomi Indonesia. Dimana-mana mulai dibuka lembaga-lembaga pendidikan baru (tentunya selain sekolah peninggalan Belanda) dari sekolah dasar sampai sekolah tinggi sebagai sarana peningkatan kualitas pengetahuan rakyat.
Semangat diskriminatif di dalam sekolahformal mulai dikikis. Anak-anak dari kalangan buruh dan tani mulai bisa menikmati dan mengenyam bangku pendidikan. Secara yuridis, pemikuran tentang pendidikan nasional dapat dilacak dalamundang-undang nomor 4 tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran disekolah (lembaran Negara tahun 1950 nomor 550), yang pelaksanaannya ditegaskan dalam UU no.12 th.1954, tentang pernyataan berlakunya UU no.4 th.1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah untuk seluruh Indonesia (lembaran Negaratahun 1954 nomor 38. Tambahan lembaran Negara nomor 550).

 Tujuan dan dasar pendidikan pada orde Lama dapat dilihat pada pasal 3 dan 4.Pasal 3:“ Tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk manusia susila yang cakap danwarga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakatdan tanah air ”Pasal 4: “Pendidikan dan pengajaran berdasar atas asas-asas yang termaktub dalam Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan Indonesia”.

Dalam prakteknya, pendidikan dan pengajaran berfungsi sebagai media untuk mempertahankan kekuasaan rezim Soekarno. Menurut H.A.R Tilaar sebagaimana dikuti poleh Paul Suparno,  pada zaman pra Orde Baru tampak jelas bahwa pendidikan diarahkan kepada kepentingan politik Negara, yaitu membangun nasionalisme, persatuan, dan penggalangan kekuatan bangsa. Dalam konteks ini system pendidikan lebih diarahkan untuk menolak segala pengaruh asing. Tidak ada kebebasan berfikir, semua diarahkan ke nasionalisme sempit itu. Rezim Orde Lama tumbang seiring adanya gejolak di Jakarta pada akhir bulan September dan awal Oktober 1965.
Demonstrasi besar-besaran terjadi dengan tiga tuntutan:  
1. hapuskan cabinet dari unsure PKI,  
2. bubarkan PKI  
3. turunkan harga-harga.
Tapi lagi-lagi sangat disayangkan, konsep pendidikan ini akhirnya berakhir ketika pada tahun 1965 terjadi pembumi hangusan gerakan kiri di Indonesia yang dilakukan oleh kekuatan militer dibawah pimpinan Soeharto dibantu oleh AS dan sekutunya.




1.   Kebijakan Pendidikan Pemerintahan Suharto

Awal dari orde baru pun bergulir di bawah kepemimpinan Jenderal Soeharto, nama orde baru diciptakan demi membedakan dengan pemerintahan orde lama di bawah Presiden Soekarno. Perbedaan nama rezim itu bukan saja secara harfiah, maupun perbedaan sang pemimpin orde. Tapi juga berimplikasi kepada pergeseran secara fundamental misi dari pemerintah serta metode yang tepat untuk mencapai misi tersebut. Radius Prawiro yang mantan Deputi menteri untuk urusan Bank Sentral merangkap Gubernur Bank Indonesia(1966-1973), dalam bukunya Pergulatan Indonesia Membangun Ekonomi menyatakan bahwa, misi orde baru dapat disarikan sebagai pembangunan ekonomi.

 Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli ekonomi didikan Barat.
Dalam pencapaian misi tersebut, disiplin ilmu ekonomi - termasuk alat analisis ekonomi makro dan mikro - menjadi ujung tombak, padahal di zaman orde lama ekonomi dianaktirikan, tanpa kebijakan ekonomi yang jitu dan terencana, mustahil ekonomi Indonesia bisa sehat kembali. Faktor politik, budaya dan sosial juga berperan penting dalam membangun budaya ekonomi baru itu.

Kabinet Pembangunan Pertama : Menekankan Rekayasa Sosial

Pada Maret 1967, Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), memilihSoeharto sebagai pejabat Presiden. Setahun kemudian MPRS memilih Soeharto sebagai presiden. Pada Juni 1968, presiden Soeharto mengangkat kabinet baru. R.E. Elson dalam bukunya Soeharto, Sebuah Biografi Politik menuliskan bahwa diantara tugas-tugas pertamanya sebagai presiden adalah membentuk kabinet baru, yang diberi nama Kabinet Pembangunan Pertama untuk membedakan kabinet itu dari kabinet-kabinet sebelumnya yang menekankan berbagai aspek rekayasa sosial yang berorientasi ideologi.

Presiden Soeharto mendukung penuh tim ekonomi pemerintah dan rekomendasi mereka sekalipun kebijakan yang diambil tidak populer secara politis. Staf ahli ekonomi Presiden Soeharto terkenal sebagai para teknokrat atau sering disebut “mafia Berkeley” karena beberapa anggotanya alumni University of California at Berkeley. Tim ini terpisah dari kabinet yang anggotanya terdiri dari Widjojo Nitisastro, Ali Wardhana, Mohammad Sadli, Subroto, dan Emil Salim. Selanjutnya beberapa tim menyusul seperti Rachmat Saleh, Arifin Siregar, J.B. Sumarlin dan Radius Prawiro.
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri. [15]








Soeharto mempercayakan Widjojo Nitisastro sebagai pemimpin informal dari tim ekonomi ini. Radius Prawiro menyatakan ada 3 hal nilai yang menonjol dalam menciptakan tatanan ekonomi baru, yaitu gotong royong, trilogi pembangunan, dan Pragmatisme. Banyak cara gotong royong yang telah diterjemahkan ke dalam tindakan politik dan kebijakan lainnya. Dalam masa sulit, pemerintah telah mengimbau warga negara untuk mendukung kebijakan yang merupakan langkah terbaik bagi kepentingan nasional meskipun kebijakan tersebut menuntut pengorbanan dari banyak individu. Terutama saat awal orde baru, gotong royong punya dua arti praktis. Pertama, konsep ini merupakan alternatif  budaya terhadap paham komunisme.

Gotong royong menjadi basis ideologi yang berakar  pada budaya bangsa untuk memajukan kebijakan ekonomi yang bertanggung jawab secara sosial, toleran terhadap kesejahteraan individu, dan tidak bertentangan dengan ekonomi pasar bebas. Kedua, gotong royong punya pengaruh memoderatkan proses perumusan kebijakan di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh hubungan erat antara gotongroyong dengan dua konsep budaya Indonesia lainnya; musyawarah yang berarti dialog,dan mufakat yang berarti konsensus.

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. Pada  tahun 1969-1970 diadakan Proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP) dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan. Dan hasilnya digunakan untuk membentuk Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan (BP3K). [16]
Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan “link and match" [17]  sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu. [18]

Ideology Pendidikan : Pendidikan sentralistik dan mentalitas pragmatis

Sense of education ala Soekarno kemudian dilanjutkan lebih inovatif lagi pada periodesasi kepemimpinan Soeharto. Di zaman pemerintah Orde Baru misalnya, pendidikan diwarnai oleh politik yang bersifat sentralistik, dengan titik tekan pada pembangunan ekonomi yang ditopang oleh stabilitas politik dan keamanan yang didukung oleh kekuatan birokrasi pemerintah, angkatan bersenjata, dan konglomerat. Dengan politik yang bersifat sentralistik ini, seluruh masyarakat harus menunjukkan monoloyalitas yang tinggi, baik secara ideologis, politis, birokrasi, maupun hal-hal yang bersifat teknis.

Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utama dalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan perjuangan bangsa yang sakral. Sebelum pemerintahan Presiden Soeharto,sebenarnya masalah pendidikan nasional telah memperoleh cukup banyak perhatian dari elite politik yang ada. Jika kita melihat sejarah, proklamator Bung Hatta merupakan salah satu tokoh yang gencar menyuarakan pentingnya pendidikan nasional bagi kemajuan bangsa sejak zaman kolonialisme. Sebagai pendiri Partai Nasional Indonesia (PNI baru) sejak tahun 1931 (PNI lalu pecah menjadi Partai Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), konsep pentingnya pendidikan telah diajukan Hatta dalam Pasal 4 Konstitusi PNI, yaitu untuk mencerdaskan rakyat dalam hal pendidikan politik, pendidikan ekonomi, dan pendidikan sosial (pidato Bung Hatta dalam reuni Pendidikan Nasional Indonesia yang diterbitkan di Bogor tahun 1968). 

Namun, sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikan mulai dikesampingkan, terutama mungkin terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebih melihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan soeharto untuk melakukan indoktrinasi.
 Kita masih ingat bagaimana, khususnya dalam sejarah, berbagai macam pelajaran sejarah yang ada secara tumpang tindih diberikan berkali-kali, dari SD, SMP, dan SMA, bahkan perguruan tinggi dalam bentuk P4. Masalahnya, isi pelajaran sejarah yang ada tidak lebih dari justifikasi mengenai G30-S-PKI, Serangan Fajar, atau berbagai pembenaran konstitusional terhadap kebijakan pemerintah saat itu.

Tidak heran apabila sistem pendidikan yang adadi Indonesia amat tersentralisasi dengan 80 persen dari kurikulum yang ada ditentukan oleh pusat (Ibrahim, 1998). Contoh lain, dalam hal dana instruksi presiden (inpres) Yang lebih memprihatinkan, pendidikan dinilai hanya dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui berbagai polarisasi, indoktrinasi, sentralisasi, dan regulasi yang tidak memihak rakyat. Keluaran pendidikan tidak digembleng untuk mengabdi kepada rakyat, tetapi telah dipola dan dibentuk untuk mengabdi kepada kepentingan kekuasaan an-sich.


Dalam konteks demikian, pendidikan kita setidaknya telah melahirkan manusia-manusia berkarakter oportunis, hipokrit, hedonis, dan besar kepala, tanpa memiliki kecerdasan emosional dan spiritual yang memadai.

Makna pendidikan substansial, yaitu memberikan ruang kesadaran kepada peserta didik untuk mengembangkan jati dirinya secara “utuh”dan “paripurna” melalui sebuah proses yang dialogis, interaktif, efektif, menarik, dan menyenangkan, nyaris tak pernah bergaung dalam dunia pendidikan kita. Dari tahun ketahun, atmosfer pembelajaran di sekolah tak lebih “memenjarakan” peserta didik untuk  bersikap serba patuh, pendiam, miskin inisiatif dan kreativitas

Pragmatisme Pendidikan : prioritas uniformitas

Sebagaimana sistem politik yang ada pada era ini, maka manajemen pendidikan dilaksanakan secara sentralistis. Semua kebijakan sampai detail ditentukan oleh pusat. Sekolah sebagai lembaga yang langsung melaksanakan proses pembelajaran tidak memiliki kewenangan yang memadai. Kebijakan ini memiliki implikasi perencanaan dan upaya peningkatan mutu bersifat top-down. Akibatnya, peningkatan mutu tidak ada disekolah-sekolah, dan hanya ada di pusat. Namun sejauh itu, sampai orde baru berakhir diganti orde reformasi peningkatan mutu juga belum terujud. Karena peningkatankualitas sekolah tidak bisa dilaksanakan dengan pendekatan fungsi produksi.

Peningkata mutu sekolah bersifat interaktif dan kontekstual, yang sangat terpengaruh oleh kondisi sekolah sebagai suatu entitas yang utuh dan mandiri.Sejalan dengan pemerintahan Soeharto yang otoriter, tampaknya isu tentang pendidikanmulai dikesampingkan, terutama terkait dengan kekhawatiran akan timbulnya gejolak apabila pendidikan politik benar-benar dilakukan sepenuhnya. Sejak saat itu kita lebihmelihat pendidikan digunakan sebagai kendaraan politik bagi pemerintahan Soehartountuk melakukan indoktrinasi terhadap rakyat. Dalam konteks ini, sudah saatnya para pelaku dan pemerhati pendidikan perlu mencoba menyelami dunia politik dan seluk  beluknya. Maksudnya, masyarakat pendidikan harus aktif untuk memengaruhi para pengambil keputusan (politikus) di bidang pendidikan.

Dengan begitu kaum pendidik tidak lagi menjadi objek politisasi pendidikan dan terkungkung dalam dunianya,melainkan memiliki ruang gerak yang lebih leluasa dan ikut menjadi agen perubahan. Rezim Orde Baru amat yakin akan terjadi mukjizat yang meneteskan hasil pembangunan kepada rakyat miskin (trickle down effects).

Kejayaan politik dan ekonomi ternyata tak langgeng karena modal utama pembangunan, yaitu manusia, terabaikan. Kondisi itu berlanjut hingga kini karena bangsa kita kurang memiliki modal manusia berkualitas yang diperlukan guna menopang pertumbuhan dan kemajuan ekonomi. Sepertinya, pemerintah selama ini tetap tak sadar akan fungsi ekonomi politik pendidikan. Sehingga, akses terhadap pendidikan dan kesehatan amat buruk dan ini membuat sepertiga atau separuh penduduk Indonesia masih rentan terhadap masalah kemiskinan, kesehatan dan korupsi.

Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru diarahkan pada penyeragaman. Tilaar (2002:3) menjelaskan pendidikan di masa ini diarahkan kepada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan kepada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat bagi perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru.Pada masa ini pertumbuhan ekonomi yang dijadikan panglima.
Pembangunan tidak  berakar pada ekonomi rakyat dan sumber daya domestik, melainkan bergantung pada utang luar negeri sehingga melahirkan sistem yang tidak peka terhadap daya saing dantidak produktif. Berbagai layanan publik tidak mempunyai akuntabilitas sosial olehkarena masyarakat tidak diikutsertakan di dalam manajemennya.
Bentuk pembangunan pada saat itu mengingkari kebhinekaan serta semakin mempertajam bentuk  primordialisme. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitasmelainkan pada target kuanti

System Pendidikan : korporatisme kampus

Dalam sistem pendidikan yang ada, berkembanglah ideologi pasar sebagai konsekuensi Indonesia berada dalam peta kapitalisme global. Pendidikan direndahkan posisinya sebagai alat elevasi sosial untuk memperoleh pekerjaan yang lebih baik. Ilmu direndahkan menjadi deretan angka-angka indeks prestasi (IP). Akses masuk semakin terbatas karena formasi sosial tidak memungkinkan warga masyarakat kebanyakan (miskin) menginjak bangku sekolah yang lebih tinggi. Kecenderungan mahasiswa berasal dari kalangan menengah ke atas terus meningkat dari tahun ke tahun.

Penelitian majalah Balairung UGM pada tahun 2000 membuktikan terjadi tren penurunan anak buruh, petani, dan anak guru yang menginjak bangku kuliah di UGM. Karena pada saat yang sama indoktrinasi dari negara juga berlangsung, muncul kritik-kritik dari kalangan pengamat pendidikan yang kritis namun liberal yang memandang terjadinya paradoks dalam dunia pendidikan karena sama sekali tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Banyak muncul ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kalangan akademisi pendidikan terhadap intervensi negara dalam kurikulum pendidikan. Ketidakpuasan muncul karena mereka menganggap tidak efisien. Ketidakpuasan dan perlawanan dari dalam kampus ini menyemai bibit perlawanan mahasiswa.
Pada tahun 1994 misalnya berdiri Dewan Mahasiswa UGM yang tegas menolak korporatisme negara terhadap kampus. Langsung atau tidak langsung,. Demonstrasi mahasiswa pada tahun 1998 merupakan imbas dari kebijakan pendidikan yang korporatis dan tidak demokratis di perguruan-perguruan tinggi. Kemandirian suatu bangsa tidak bisa ditawar-tawar. Bangsa yang tidak mandiri dalam banyak hal, akan sulitmaju, terutama menyangkut kebutuhan pokok suatu bangsa. Masalah ketidak mandirian itu pula yang membuat bangsa Indonesia tetap tidak stabil, terutama dari sisi ekonomi.

Dari sisi ideologi, pendidikan sebenarnya telah cukup mendapat tempat dari pendiri bangsa. Terbukti dengan dimasukkannya pendidikan sebagai salah satu prioritas utamadalam Pembukaan UUD 1945, yang notabene tak dapat diubah dan dianggap sebagai landasan perjuangan bangsa yang sakral. Di awal pemerintahannya, Soeharto ketika itu memprioritaskan pertumbuhan ekonomi sebagai pokok tugas dan tujuan utama pemerintah.
Standar Pendidikan : menekankan kuantitas

Dalam era ini dikenal sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya INPRES Pendidikan Dasar. Tetapi sayang sekali INPRES Pendidikan Dasar belum ditindaklanjuti dengan peningkatan kualitas tetapi baru kuantitas. Dalam era pembangunan nasional selama lima REPELITA yang ditekankan ialah pembangunan ekonomi sebagai salah satu dari TRILOGI pembangunan. Maka  kemerosotan pendidikan nasional telah berlangsung. Selain itu sistem ujian negara (EBTANAS) telah berubah menjadi bumerang yaitu penentuan kelulusan siswa menurut rumus-rumus tertentu.
Akhirnya di tiap-tiap lembaga pendidikan sekolah berusaha untuk meluluskan siswanya 100%. Hal ini berakibat pada suatu pembohongan publik dan dirinya sendiri dalam masyarakat. Oleh sebab itu era Orde Baru pendidikan telah dijadikan sebagai indikator palsu mengenai keberhasilan pemerintah dalam pembangunan. Dari hasil manipulasi ujian nasional sekolah dasar kemudian meningkat ke sekolah menengah dan kemudian meningkat ke sekolah menengah tingkat atas dan selanjutnya  berpengaruh pada mutu pendidikan tinggi. Walaupun pada waktu itu pendidikan tinggi memiliki otonomi dengan mengadakan ujian masuk melalui UMPTN, tetapi hal tersebut tidak menolong.

Pada akhirnya hasil EBTANAS juga dijadikan indikator penerimaan di perguruan tinggi. Untuk meningkatkan mutu pendidikan tinggi maka pendidikan tingginegeri mulai mengadakan penelusuran minat dari para siswa SMA yang berpotensi. Cara tersebut kemudian diikuti oleh pendidikan tinggi lainnya. Di samping perkembangan pendidikan tinggi dengan usahanya untuk mempertahankandan meningkatkan mutunya pada masa Orde Baru muncul gejala yaitu tumbuhnya perguruan tinggi swasta dalam berbagai bentuk. Hal ini berdampak pada mutu perguruan semakin menurun walaupun dibentuk KOPERTIS-KOPERTIS sebagai bentuk birokrasi baru.

Kebijakan Pendidikan :

Ada beberapa kebijakan pokok dalam pendidikan pada masa orde baru, yaitu :

1. Relevansi Pendidikan,
Yaitu penyesuaian isi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan terhadap sumber dayamanusia yang diperlukan. Kebijakan ini secara eksplisit muncul pada pelita I, II, III, I dan V.
Setelah perluasan kesempatan belajar, sasaran perbaikan bidang pendidikan selanjutnya adalah pemberantasan buta aksara. Kenyataan bahwa masih banyak  penduduk yang buta huruf ditanggapi pemerintahan Soeharto dengan pencanangan penuntasan buta huruf pada 16 Agustus 1978. Tekniknya adalah dengan pembentukan kelompok belajar atau ”kejar”. Kejar merupakan program pengenalan huruf dan angka bagi kelompok masyarakat buta huruf yang berusia 10-45 tahun. Tujuannya, mereka akan mampu membaca serta menulis huruf dan angka Latin.

Tutor atau pembimbing setiap kelompok adalah siapa saja yang berpendidikan minimal sekolah dasar. Jumlah peserta dan waktu pelaksanaan dalam setiap kejar bersifat fleksibel. Hingga saat ini program kejar yang sudah semakin berkembang masih tetap dijalankan.Keberhasilan program kejar salah satunya terlihat dari angka statistik penduduk buta huruf yang menurun. Pada sensus tahun 1971, dari total jumlah penduduk 80 juta jiwa,Indonesia masih memiliki 39,1 persen penduduk usia 10 tahun ke atas yang berstatus butahuruf. Sepuluh tahun kemudian, menurut sensus tahun 1980, persentase itu menurunmenjadi hanya 28,8 persen.

Hingga sensus berikutnya tahun 1990, angkanya terus menyusut menjadi 15,9 persen.Sasaran yang terungkap dalam lima Pelita dalam PJPT I menunjukkan runtutan sasaranyang sistematis; dimulai dengan sektor agraris dan secara bertahap sampai dengan sektor industri. Sayangnya, dalam prakteknya, sektor agraris seakan-akan ditinggalkan begitusaja, dan diganti sepenuhnya dengan industrialisasi. Tampak pemerintah begitu berambisimengikuti pola Barat, yaitu industrialisasi. Perjalanan dunia pendidikan Indonesiaternyata kembali terulang pada masa pemerintahan

Rezim Orde Baru, dimana terjadi Liberalisasi Ekonomi tahap kedua. Focus pembangunan lebih diarahkan kepada pembangunan ekonomi daripada  pembangunan manusia. Departemen Pendidikan pun tumbuh menjadi kementerian yang termarjinalisasi dibandingkan dengan departemen lain. Rosser (2002) mencatat, padatahun 1980-an Menteri Sekretaris Negara (saat itu dipimpin Sudharmono dan Ginandjar Kartasasmita) dan Menteri Riset dan Teknologi (saat itu dipimpin BJ Habibie) merupakan kementerian yang memegang peran utama dalam perencanaan pembangunan.
 
Corak politik pemerintah yang demikian itu selanjutnya menimbulkan paling kurang enam masalah pendidikan.

1.  Masih banyak rakyat Indonesia yang belum memperoleh pendidikan.
2.  Mutu lulusan pendidikan di Indonesia tergolong rendah dibandingkan dengan mutu lulusan       pendidikan di negara lain.3.  Pendidikan diIndonesia belum menjadi pranata sosial yang kuat dalam memberdayakan sumber daya manusia Indonesia.
4. Pendidikan di Indonesia belum berhasil melahirkan lulusan yang mengamalkan keimanan, ketakwaan, aklak mulia dan budi pekerti luhur.
5.  Pendidikan belum mampu mendorong lahirnya masyarakat belajar (learning society) dalam rangka pelaksanaan konsep belajar seumur hidup.
6.  Dunia pendidikan kurang sejalan dengan tuntutan dunia kerja dan kebutuhan lokal.

Dahulu kualitas pendidikan bangsa kita itu diatas negara-negara tetangga seperti Malaysia, tapi saat ini menapa justru terjadi sebaliknya. Sudah dari zaman Soeharto sebenarnya bukannya sekarang. Pak Soeharto kan yang pertama kali mengadakan SPP.Jadi seolah pendidikan itu tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, dan orang yang mampu.  

2.      Pemerataan Pendidikan.

Sejak pelita I disadari pentingnya memberikan kesempatan yang sama dan lebih luas   tentang pendidikan untuk semua warga negara. Kebijakan pemerataan dan perluasan pendidikan dilaksanakan melalui wajib belajar Sekolah Dasar. Sejak awal kekuasaannyasebagai Presiden RI, Soeharto berupaya menggarap pendidikan sebagai hal yang harus dibenahi secara serius. Tiga hal yang cukup populer di masyarakat adalah program wajib belajar, pembangunan SD inpres, dan pembentukan kelompok belajar atau kejar.

Dengan mencanangkan “wajib belajar 9 tahun”, termasuk juga yang tak kalah populer adalahdibukanya program SD Inpres untuk daerah-daerah terpencil dan terisolir diberbagai belahan daerah di Indonesia. Program wajib belajar dicanangkan pada 2 Mei 1984, diakhir Pelita (Pembangunan Lima Tahun) III.
Dalam sambutannya saat itu, Soeharto menyatakan, kebijakan ini bertujuan untuk memberikan kesempatan yang sama dan adil kepada seluruh anak usia 7-12 tahun di belahan bumi Indonesia mana pun dalammenikmati pendidikan dasar.

Seremonial pencanangan dilakukan secara besar-besaran diStadion Utama Senayan, Jakarta.Program ini memang telah direncanakan saat Pelita II. Tidak murni seperti kebijakanwajib belajar di negara lain yang memiliki unsur paksaan dan ada sanksi bagi yangmengabaikan.
Pemerintah hanya mengimbau orangtua agar memasukkan anaknya yang sudah cukup umur ke sekolah. Negara bertanggung jawab terhadap penyediaan saranadan prasarana pendidikan yang dibutuhkan, seperti gedung sekolah, peralatan sekolah, disamping tenaga guru dan kepala sekolah. Karena tidak ada sanksi, dalam prosesnyahingga kini, masih ditemukan anak-anak pada kelompok usia pendidikan dasar yang tidak  bersekolah.

Upaya pelaksanaan wajib belajar 9 tahun pada kelompok usia 7-15 tahun dimulai saatdiresmikannya Pencanangan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun pada 2 Mei 1994.Kebijakan ini diperkuat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1Tahun 1994. Program wajib belajar yang dimulai Soeharto di akhir Pelita III diakui telahmeningkatkan taraf pendidikan masyarakat Indonesia saat itu. Fokus utama ketika itu adalah peningkatan angka-angka indikator kualitas pendidikan dasar.Sebelum wajib belajar dicanangkan, upaya peningkatan kualitas pendidikan dasar didahului dengan dikeluarkannya Inpres No 10/1973 tentang Program Bantuan Pembangunan Gedung SD. Tujuan penerbitan kebijakan ini adalah untuk memperlua

3. Peningkatan Mutu Guru atau Tenaga Kependidikan

Barangkali tidak semua kita masih ingat bagaimana, Bank Dunia pada tahun-tahun akhir 1970-an dan awal tahun 1980-an memberikan resep untuk meningkatkan efektivitas pendidikan guru dengan merombak kurikulum IKIP yang semula mirip kurikulum Universitas menjadi khas IKIP, dimana kurikulum baru ini terlalu berlebih-lebihan menekankan pembelajaran dan mengurangi secara besar-besaran materi bidang studi. Para pedagog yang tidak sefaham dengan resep ini dengan sinis mengatakan bahwa “di kurikulum IKIP yang baru ini, “bagaimana cara memegang kapur  pun diajarkan”.

Dari kebijakan ini hasilnya luar biasa, mutu guru lulusan IKIP merosottajam. Guru menguasai berbagai pendekatan dan metodologi mengajar, tetapi tidak menguasai apa yang harus diajarkan.Kebijakan ke dua dalam peningkatan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan kualitas guru lewat projek peningkatan mutu guru yang dilakukan dengan model pelatihan guru yang sangat terencana mulai dari teori, praktik sampai on the job training di sekolah-sekolah masing-masing.

Mereka yang dilatih di pusat menjadi guru inti, yang bertugas mengembangkan pelatihan bagi para guru di daerah masing-masing. Proses ini, berhasil melatih dan meningkatkan kualitas kemampuan professional ribuan guru.Sayangnya, ketika beberapa tahun proyek telah usai dan evaluasi dilakukan oleh lembagaindependen, kesimpulan sangat menarik. Yakni, pelatihan telah berhasil meningkatkankualitas profesional guru tetapi tidak berhasil meningkatkan mutu siswa. Karena peningkatan kualitas kemampuan professional guru belum menjamin peningkatan kualitas pembelajaran. Terdapat faktor sekolah sebagai suatu entitas yang utuh.

4. Mutu pendidikan.

Sejak pelita I s.d pelita V mutu pendidikan terus-menerus dijadikan salah satu kebijakan pokok. Peningkatan mutu pendidikan di era orde baru cenderung secara patuhmelaksanakan kebijakan Bank Dunia.(Zamroni, 2009). Atmosfer pembelajaran dalamdunia persekolahan kita terpasung dalam situasi monoton, kaku, dan membosankan,sehingga gagal melahirkan generasi bangsa yang cerdas, terampil, dan bermoral sepertiyang didambakan oleh masyarakat.

 Paling tidak ada dua argumen yang dapat dikemukakan. Pertama, diterapkannya sistem single-track yang “membutakan” peserta didik dari persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat dan bangsanya, sehingga tidak memiliki sikap kritis dan responsif terhadap persoalan-persoalan hidup. Kedua, para pengambil kebijakan menjadikan dunia pendidikan meminjam istilah Zamroni sebagai engine of growth; penggerak dan loko pembangunan. Agar  proses pendidikan efisien dan efektif, pendidikan harus disusun dalam struktur yang bersifat rigid, manajemen bersifat sentralistis, kurikulum penuh dengan pengetahuan danteori-teori.Namun, disadari atau tidak, kebijakan semacam itu justru membikin dunia pendidikan menjadi penghambat pembangunan ekonomi dan teknologi denganmunculnya berbagai kesenjangan kultural, sosial, dan kesenjangan vokasional yang ditandai dengan melimpahnya pengangguran terdidik.
Dalam upaya peningkatan mutu sekolah di era orde baru juga menekankan ketersediaan fasilitas, seperti pergedungan dan ruang kelas, laboratorium, dan buku teks disamping pembaharuan kurikulum.

5. Pendidikan Kejuruan
Sesuai dengan gerakan pembangunan telah disadari sejak pelita I akan langkanya tenaga-tenaga terampil. Oleh karena itu, pengembangan pendidikan kejuruan mendapat prioritassejak pelita I s.d pelita V. Hingga awal tahun 90-an menurut Dody Heriawan Priatmoko, paling tidak ada 3 permasalah pendidikan di Indonesia, yakni : Pertama, adalahkurangnya pemerataan kesempatan pendidikan. Kesempatan memperoleh pendidikanhanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Kedua, adalah rendahnya tingkat Relevansi pendidikan dengan kebutuhan. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya lulusan yangmenganggur. Data BAPPENAS yang dikumpulkan sejak 1990 menunjukan angka penganggur terbuka yang di hadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47 %, Diploma.
  
3.   Kebijakan Pendidikan Pemerintahan BJ Habibie 

Sebenarnya agak sulit memisahkan era Habibe dan era Soeharto, karena dari kacamata krisis dan kebijakan, era ini adalah kelanjutan dari era Soeharto. Itulah sebabnya lebih tepat bila dikatakan bahwa era ini adalah era ekonomi  pasca 21 Mei. Upaya untuk melihat perkembangan ekonomi di era Habibie mungkin bisa dilihat dari beberapa indikator berikut.Nilai tukar dan pasar modal, uang beredar, defisit anggaran dan inflasi. Ada faktor lain yang juga berperan, seperti kekuatiran terhadap masalah politik dan keamanan [19]

Otonomi dan tren pendidikan tinggi

Isu otonomi pendidikan sebenarnya hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik  bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar.
Konsep ini jelas datang dari semangat kebebasan akademis, ketika hak-hak akademis individu untuk mengekspresikanopini mereka terjamin. Di dalam Magna Carta of European Universities yang ditandatangani pada 1988 oleh para rektor dari Universitas terbaik se-Eropa dikatakan bahwa universitas merupakan lembaga yang otonom di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam, baik secara geografis maupun budaya. Universitas adalah produsen utama hampir seluruh produk sosial, politik, dan budaya yang bersinggungan langsung dengan kehidupan masyarakat.
Di samping soal otonomi, beberapa isu penting soal bagaimana seharusnya sebuah universitas merespons perkembangan sosial budaya masyarakat juga harus diperhatikan.Isu tentang strategi kolaborasi yang harus dijalankan oleh universitas, strategi pendanaan,dan pentingnya memikirkan segmentasi yang bersinergi dengan bursa kerja merupakan keharusan yang perlu dipikirkan, direncanakan, dan dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan (Zusman, 1999).
Dalam rangka menarik minat pasar, pendidikan tinggi di Indonesia, mau tidak mau dan suka atau tidak suka, harus membuka program-program pelatihan, sertifikasi, serta kuliah jarak jauh yang dikelola dengan logika kolaboratif, yaitu ketersambungan dunia bisnis dan pendidikan. Networking atau jejaring adalah kata kunci yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh setiap universitas dalam rangka mencari pola partnership yang tepat antara universitas dan lembaga keuangan (bisnis, entertainer) dan lembaga riset.Selain itu, universitas diharapkan juga jeli dalam menjalin kolaborasi dengan sekolah menengah umum tertentu sebagai basis input-nya dan universitas lain terutama dalam rangka pemanfaatan sumber daya dan teknologi.
 
4.  Kebijakan Pendidikan Pemerintahan Abdul Rahman Wahid

Menuju Desentralisasi Pendidikan

Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Era yang dimulai secara formal melalui produk kebijakan otonomi pendidikan perguruan tinggi, kebijakan desentralisasi pendidikan yang mengacu pada UU No. 22 tahun 1999 dan No. 25 tahun 1999 yang direvisi menjadi UU No. 32 tahun 2004 dan No. 33 tahun 2004 dimana dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah baru dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah (provinsi dankabupaten/kota) serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah dimana implikasi otonomi daerah bagi sektor pendidikan sangat tergantung pada pembagian kewewenangan di bidang pendidikan yang akan ditangani pemerintah pusat dan pemerintah daerah disisi lain.
Sebuah sistem pendidikan nasional yang disahkan melalui UU Sisdiknas dimana beberapa muatan dalam kebijakan ini secara tidak langsung mencoba melakukan perbaikan mutu pendidikan. Sekolah dan pendidikan adalah dua hal yang bertentangan.
Pendidikan tidak bisa disempitkan pada pendidikan formal semata. Ia mencakup aspek yang begitu luas, yangoleh Johannes Muller dicatat sebagai ''segala upaya masyarakat serta hasil-hasilnya yang bertujuan meneruskan dan menyediakan pengetahuan dan keterampilan, sikap dan polatingkah laku yang perlu demi kelangsungan ataupun perubahan masyarakat itu, denganmenawarkan kesempatan yang sebaik mungkin kepada semua orang demi perkembangan manusia seutuhnya''.
Muller mengatakan bahwa pendidikan menyangkut masyarakat seluas-luasnya: pendidikan informal (keluarga, tempat kerja, agama), pendidikan formal di sekolah(termasuk perguruan tinggi), pendidikan luar sekolah yang dilembagakan (pendidikan orang dewasa), media massa (sebagai ''guru tersamar''), dan segala kebijakan politik yang menyangkut medan pendidikan.

Semakin jelas bahwa menyelenggarakan pendidikan(yang ideal) belumlah menjadi hal mudah. Kebijakan politik yang menyangkut pendidikan saja misalnya, Soedrajat Djiwandono masih menyimpan sejumlah catatan yang dituangkan secara tajam dalam artikel bertajuk "Politik Mandek, Pendidikan Pun Macet".Telah disebutkan dimuka bahwa pendidikan, dalam bahasa lain, mereformasi dirinya sendiri sesuai tuntutan demokratisasi dan dan terutama perbaikan institusi-institusi pencetak aset-aset masa depan bangsa ini agar tidak seperti pendahulunya. Konsep desentralisasi yang diusung pemerintah dan didukung berbagai elemen demokrasi dinegeri ini melahirkan berbagai kebijakan yang memiliki implikasi positif terhadap pendidikan nasional. Demokratisasi pendidikan terkait dengan beberapa masalah utama,antara lain desentralisasi pendidikan melalui perangkat kebijakan pemerintah yaitu Undang-undang yang mengatut tentang pendidikan di negara kita.

5.  Kebijakan Pendidikan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri

Dalam hal membangun Manusia Indonesia yang berkualitas, berwawasan kebangsaan, berperi-kemanusiaan, berkeadilan dan berKetuhanan; dengan sendirinya menempatkan peran kebudayaan menjadi suatu wilayah strategis yang harus mendapat perhatian khusus. Dengan demikian, pembangunan mental dan karakter bangsa merupakan hal yang penting untuk diperhatikan. Terutama pada saat nilai-nilai moral dan spiritual bangsa yang dapat meningkatkan kualitas manusia Indonesia sebagai mahluk yang berakal, berkarakter dan berbudi luhur, dijadikan dasar pijakan pembangunan dimaksud.
Rangkaian inilah yang seharusnya kita jadikan sebagai strategi Nasional dalam mencari dan mendudukkan jati diri bangsa.
 Hanya dengan akal yang sehat dan budi yang luhur, bangsa Indonesia akan mampu memanfaatkan perkembangan ilmu dan teknologi untuk tujuan kemanusiaan dalam peradaban abad XXI mendatang.
Mengutip Vincent Navarro, pokok kebijakan neoliberalisme adalah sebagai berikut; (i) deregulasi pasar tenaga kerja, melalui penerapan sistim kontrak danoutsourcing, (ii) deregulasi pasar financial, (iii) deregulasi perdangan barang dan jasa,(iv) mengurangi subsidi dan jaminan sosial untuk public, (v) privatisasi dan penjualan aset-aset strategis, (vi) mempromosikan individualisme dan konsumerisme, (vii) pengembangan teori dan narasi yang memuji-muji keunggulan pasar, (viii)mempromosikan anti-intervensionisme.
Secara teoritis, bagi penganut neoliberal, privatisasi dimaksudkan sebagai jalan untuk mengatasi masalah kekurangan financial, untuk membuat pelayanan menjadi lebihefisien, serta mengindari distorsi pada makro dan mikro ekonomi akibat pelayanan publicgratis (Carlos Vilas). Pada kenyataannya, privatisasi telah mengarah para pengguna jasauntuk membeli dengan harga yang lebih mahal, karena perusahaan yang terprivatisasikini menggunakan kriteria bisnis dan mencari keuntungan (profit).kebijakan privatisasi berdasarkan desakan dari luar, khsusunya IMF dan bank dunia.Bedanya, jika Megawati hanya melanjutkan kesepakatan yang dibuat pemerintahan sebelumnya, Habibie, melalui stuctrual adjustment program (SAP), maka SBYmenjalankan privatisasi dengan dimandori secara lansung oleh Bank Dunia
Pendidikan Murah : Sebagai Kemustahilan
Pendidikan murah dan gratis adalah pandangan yang bertentangan dengan kenyataan. Bahkan seperti dikatakan Presiden Megawati Soekarnoputri dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional di SMU 13, Tanjung Priok, Jakarta Utara, Rabu (5/5), "pandangan itu sangat menyesatkan". Menurut Megawati, pendidikan membutuhkan biaya sangat besar. Saat ini saja, negara mengalokasikan seperlima dari anggaran belanja negara untuk  pendidikan, tapi tetap dirasa belum memadai. "Saya kira, tidak ada di antara kita yang akan berpikir dua kali untuk mengalokasikan dana lebih besar untuk kepentingan generasi masa depan," kata Megawati.


Berbicara masalah pencerdasan bangsa, kami percaya bahwa kunci utamanya adalah meningkatkan kualitas pendidikan di satu sisi dengan tanpa mengurangi perlunya pendekatan kuantitatif di sisi lain. Dalam kaitan ini, satu hal yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan mendesak akan pentingnya peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Karena tanpa guru yang sejahtera, tidak mungkin kita akan capai pendidikan yang bermutu dan sehat. Secara pribadi saya menganggap, guru sebagai tiang budaya pendidikan bangsa. Maka bila tiang itu tidak pernah berdiri kokoh, maka jangan harapkan rumah pendidikan bangsa kita dapat tegak berdiri sebagaimana yang diidamkan. Hal lain yang perlu kita pikirkan bersama adalah; perlunya memperjuangkan otonomi institusi pendidikan negeri maupun swasta berikut otonomi para pendidik yang sangat diperlukan untuk mencegah terciptanya pola pendidikan yang bersifat birokraktif dan indoktrinatif .

 Kebebasan dan kemerdekaan berpikir yang tetap dalam koridor ilmiah dan keilmuan,harus sepenuhnya dijamin untuk dapat dilaksanakan. Campur tangan pemerintah yang membatasi ruang kebebasan menentukan pilihan proses belajar dan mengajar, hanya akan membawa bangsa ini kepada penyempitan sudut pandang, maupun penyeragaman pola pikir yang satu arah dan kering nuansa. Dalam hal ini, memperlebar ruang bagi setiap warga negara untuk bebas berekspresi dan bebas membangun harapan-harapannya,merupakan keharusan yang bersifat mutlak.

 Bahkan lebih jauh lagi, kebebasan artistik atau kebebasan mengekspresikan estetika berdasar kan pilihan pribadi sebagai mahluk  budaya, sudah saatnya diperkenalkan dan ditumbuh kembangkan dalam kehidupan kita. Biarkan anak-anak kita bermain dengan imajinasi-imajinasi yang sesuai dengan dunianya, baik dunia nyata yang digelutinya sehari-hari, maupun dunia khayalan yang berdatangan dalam mimpi-mimpi mereka. Jangan sampai kita biarkan anak-anak kita menjadi miskin imajinasi dan kering daya khayalnya. Karena sebuah bangsa yang kering imajanasi dan miskin daya khayalnya, tak ubahnya bak pohon kekar kerontang penuh duri, tanpa sehelai daun maupun bunga yang memberikeindahan dan kedamaian bagi kehidupan diskelilingnya.

Bangsa yang demikian adalah bangsa yang kering dan yang tak akan pernah mengenali betapa indah dan nikmatnyaaroma kehidupan pada saat imajinasi rakyat bangsanya mampu menembus dinding waktu dan perdaban yang jauh ke depan.
Untuk meningkatkan dana pendidikan, kata Megawati, masih terbatas kondisi perekonomian. "Sungguh tidak mudah membagi kue anggaran yang sedemikian kecil untuk mendanai banyak kebutuhan. Memperbesar alokasi untuk satu bidang, akan mengurangi alokasi untuk bidang lainnya," kata Megawati.
 Untuk itu, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah memperbesar kue anggaran dan menggalakkan kampanye anti korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Kaum tani dan nelayan, yang merupakan bagian terbesar dari warga negeri ini, tambah sulit mencari nafkah.

Reformulasi  Konsep  Pendidikan

"Dunia pendidikan dapat memberi andil dengan membina kehidupan kerohanian disekolah dan di rumah tangga. Dalam tiap rumah tangga harus ditanamkan, KKN ituadalah jahat," kata Megawati. Walau demikian, tetap tidak jelas apa yang harus dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pendidikan. Pendidikan dalam perspektif demokrasiadalah sebuah komponen yang vital. Dalam membangun demokrasi, tak pelak proses pendidikan yang menjadikan warga negara yang merdeka, berpikir kritis dan sangatfamiliar dalam praktik-praktik demokrasi.

Sejarah mencatat, intelektual-intelektual bangsa yang berpendidikan barat lah yang memegang  peranan penting sebagai penggagas  ghirah kebangsaan dan sekaligus sebagai founding fathers berdirinya republik ini. Namun tak kurang pula, pendidikan yang telah dikenyam pemimpin bangsa, ketika berubah menjadi suatu rejim yang otoriter maka pendidikan yang diberikan oleh pemerintah (baca: penguasa) menuntut penerimaan masyarakat secara paksa (passiveac ceptance). Keran demokrasi dan demokratisasi begitu terbuka dan membahana padamasa reformasi sekarang ini.

Maka dari itu pula, reformasi pendidikan mutlak bagi bangsa ini dan dapat segera diwujudkan menyusul semakin pentingnya sektor pendidikandijadikan prioritas utama pembangunan, dimana pembiayaan dan kewenangan menjadifokus utama dalam reformasi pendidikan tekait dengan desentralisasi pendidikan di eraotonomi daerah saat ini. Diantara berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pascaorde baru (orde reformasi), adalah kebijakan di bidang pendidikan yang menentukan kiprah bangsa ini di masa depan.

Niscaya, sumber daya manusia yang unggul akan dibentuk melalui sistem pendidikan yang merupakan kapital sosial bagi pembentuk generasi masa depan. Diharapkan, tidak hanya pemerintah yang “memikirkan” konsep dan sistem pendidikan yang ideal, tetapi merupakan tanggung jawab bersama.
Dalam konsepsi perikehidupan berbangsa dan bernegara yang menuju kearah civil society sekarang ini, era reformasi dan otonomi daerah seakan angin segar sekaligus kesempatan besar dalam reformasi di segala bidanguntuk kemajuan bangsa.
Sekali lagi, pendidikan merupakan kunci bangsa untuk eksis dan bersaing di kancah global di masa depan. Pengalaman negara-negara barat yang bermasyarakat dengan tingkat pendidikan dan penguasaan teknologi yang tinggi membawa bangsanya pada kedudukan yang tinggi pula pada percaturan internasional.Kedaulatan dan keunggulan yang kompetitif di masa depan bukan milik suatu bangsaatau negara, melainkan hak semua bangsa di dunia dan mampu diraih bangsa manapun,termasuk kita jika berbenah diri dari sekarang.
Masa otonomi daerah ditandai dengan implementasi UU No.22 tahun 1999 yang direvisi dan diganti dengan UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam kedua UU inilah perspektif demokratisasi pendidikan memiliki fondasi dasarnya sebelum diterbitkan peraturan-peraturan (PP) maupun Peraturan daerah (Perda) yang mengatur lebih lanjut tentang pendidikan ini, selain UU Sisdiknas itu sendiri.

 Perjalanan pendidikan nasional yang panjang mencapai suatu masa yang demokratis –kalau tidak dapat disebut liberal– ketika pada saat ini otonomisasi pendidikan melalui berbagai instrumen kebijakan, mulai UU No. 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,“privatisasi” perguruan tinggi negeri –dengan status baru yaitu Badan Hukum Dalam konteks ini pula, pendidikan berusaha dikembalikan untuk melahirkan insan-insan akademis dan intelektual yang diharapkan dapat membangun bangsa secara demokratis, bukan menghancurkan bangsa dengan budaya-budaya korupsi kolusi dan nepotisme,dimana peran pendidikan (agama, moral dan kenegaraan) yang didapat dibangku sekolah dengan tidak semestinya.
Reformulasi konsep pendidikan dan rekonstruksi fondasi pendidikan nasional, utamanya menyangkut hak-hak pendidikan masyarakat dan nilai-nilai dasar pendidikan saat ini mutlak untuk dipikirkan (rethinking) dan direaktualisasi.

Salah satu konsepnya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) yang mulai diimplementasikan pada sekolah-sekolah dasar dan menengah dibeberapa provinsi diIndonesia, mungkin juga konsep pendidikan “masyarakat belajar” bagi masyarakat akademis seperti digagas Murbandono Hs (1999).
Dengan demikian dalam konteks ini, kebijakan otonomi daerah (melalui diterbitkannya UU No. 32 tahun 2004 dan UU No.33 tahun 2004) dan desentralisasi pendidikan dalam rangka perbaikan pendidikan ini sangat perlu dan mendesak.
6.Kebijakan pendidikan diIndonesia zaman Susilo Bambang Yudhoyono
Pendidikan pada Masa Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional." [20]
Dengan didasarkan oleh UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, yang diperkuat dengan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah, maka pendidikan digiring pada pengembangan lokalitas, di mana keberagaman sangat diperhatikan. Masyarakat dapat berperan aktif dalam pelaksanaan satuan pendidikan.
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan.
 Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:
“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara." [21]
Konsep kebijakan pemerintah
Anggaran Pendidikan 20 % dari APBN/APBD
Pada pemerintaan SBY tahun 2004-2009, anggaran pendidikan ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20% dari APBN dan APBD, sehingga banyak terjadi reformasi di dunia pendidikan, terutama dalam dalam pemberian dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Wajib Belajar 9 tahun, dan peningkatan standar penghasilan Guru dengan adanya sertifikasi guru, serta pemberian bantuan pendidikan (Beasiswa) untuk peningkatan Kompetensi guru, dan sebaginya. Hanya dalam pelaksanaannya leading sektor yang menangani bidang pendidikan dalam hal ini Departemen Pendidikan nampaknya gagap dengan anggaran yang besar tersebut, sehingga banyak program yang belum menyentuh, hanya sekedar menghabiskan dana dengan hanya mengadakan kegiatan seminar-seminar saja.
Kebijakan-kebijakan pemerintah 
Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang  Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional  mempunyai visi terwujudnya penyelenggaraan pembelajaran sesuai dengan prinsip-prinsip profesionalitas untuk memenuhi hak yang sama bagi setiap warga negara dalam memperoleh pendidikan yang bermutu.
Undang-undang nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen Pasal 2 ayat ( 1 )
Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu.
Pasal ( 4 )  Yang dimaksud  dengan guru sebagai agen pembelajaran  (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.
Peraturan pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
BAB 1 Pasal 1 Dalam pasal ini menyebutkan  yang dimaksud dengan standar nasional pendidikan adalah  kriteria minimal tentang sistem pendidikan  di seluruh wilayah Hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia.
BAB 11 Pasal 2 Lingkup Standar Nasional  Pendidikan meliputi:
a.       Standar isi;
b.      Standar proses;
c.       Standar kompetensi lulusan;
d.      Standar pendidik dan tenaga kependidikan;
e.       Standar sarana dan prasarana;
f.       Standar pengelolaan;
g.       Standar pembiayaan; dan
h.      Standar penilaian pendidikan.


Peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2009 tentang tunjangan profesi guru dan dosen, tunjangan khusus guru dan dosen, serta tunjangan kehormatan guru besar
BAB 1 Pasal 1  Dalam peraturan pemerintah ini yang dimaksud dengan:
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.
c.               Kesimpulan

Dari paparan makalah tentang kebijakan pendidikan diindonesia masa pemerintahan orde lama  sampai  era reformasi maka penulis dapat mengampil simpulan diantaranya:
Orde lama merupakan satu fase yang berusaha membangun masyarakat sipil yang kuat, yang berdiri di atas demokrasi, kesamaan hak dan kewajiban antara sesama warga negara termasuk dalam bidang pendidikan. Inilah amanat UUD 1945 yang menyebutkan salah satu cita-cita pembangunan nasional adalah mencerdaskan bangsa.
Era orde lama menghapuskan sistem pendidikan elitisme dan memberlakukan politik  persatuan nasional diwujudkan sebagai politik "Nasakom" – Nasionalis, Agama,Komunis. (sesuai kondisi obyektif waktu itu dalam menghadapi nekolim).

Pemerintahan Orde Baru yang dipimpin Soeharto mengedepankan moto “membangun manusia Indonesia seutuhnya dan masyarakat Indonesia”. dan menemukan empat masalah pokok dalam pendidikan di Indonesia: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan.

Isu otonomi pendidikan sebenarnya hak bagi setiap institusi untuk memutuskan apa yang baik  bagi sebuah institusi tanpa ada gangguan dari pihak luar adalah merupakan acuan sistem kebijakan pemerintahan B.J. Habibie.

Desentralisasi pendidikan, merupakan salah satu cara di masa “pendidikan otoriter” tidak lagi dianut, alias masa pendidikan di era otonomi daerah. Desentralisasi pendidikan menjadi acuan bagi Abdul Rahman Wahid dalam kebijakan pendidikannya.

Dalam hal membangun Manusia Indonesia yang berkualitas, berwawasan kebangsaan, berperi-kemanusiaan, berkeadilan dan berKetuhanan; dengan sendirinya menempatkan peran kebudayaan menjadi suatu wilayah strategis yang harus mendapat perhatian khusus.

Era  reformasi  telah  memberikan  ruang  yang  cukup  besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Anggaran pendidikan ditetapkan sesuai dengan UUD 1945 yaitu 20% dari APBN dan APBD, sehingga banyak terjadi reformasi di dunia pendidikan.



[1]Mukhtar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta: Gaung Persada Press, h 413
2 Alif Lukmanul Hakim, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa Ideologi , News letter KOMMPAK Edisi I 2007. .http://alif lukmanulhakim. blogspot.com.
3 Haryatmoko, “Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”, dalam buku Menemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, (Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika, 2008), hlm. 67.
4 Rianti Nugroho, Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm.15-16.
5 Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/Abdurrohim.
6Ibid
7 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 87.
8 A. Sonny Keraf, Pragmatisme menurut William James, Kanisius, Yogyakarta, 1987R.
9 Moh. Yamin, Menggugat Pendidikan Indonesia. (Jogjakarta: Ar Ruz, 2009), hlm. 92.

10 Ibid, 2009, hlm. 92.

11Ibid
12Awaludin Marwan,  Menggali  Pancasila  dari  Dalam  Kalbu  Kita,  Senin, Juni 01, 2009
13 Bagus Takwin. 2003. Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.Yogjakarta. Hal. 28

14H.A.R Tilaar, Kebijakan Pendidikan, (yogyakarta:Pusat Belajar, 2002) h 2
15 Sejak T,B Silalahi menjadi Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN), latihan prajabatan calon-calon guru pegawai negeri sipil (PNS) tidak di bawah penanganan pakar akademisi, peneliti, atau pekerja sosial, yang dekat dengan profesi guru, melainkan di bawah instruksi militer. Dengan sendirinya wacana yang ditawarkan bukanlah soal perluasan ilmu pengetahuan dan pendalaman filosofi pendidikan, melainkan direduksi menjadi aktivitas fisik, dengan asumsi bahwa seorang guru perlu memiliki stamina (fisik) yang kuat untuk menjalankan tugasnya.
16Riant Nugroho, Ibid
17“Link and match” merupakan upaya pemerintah pada waktu itu untuk mengurangi pengangguran terdidik, dengan maksud untuk menyesuaikan antara jumlah lulusan dengan kebutuhan pasar. Hal ini dijelaskan dalam UU yang dibuat pada tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berisi “pendidikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik…bagi peranannya di masa yang akan datang”.
18 Ibid, 2008, hlm.20
19 Chie Nakane. 1986. Criteria of Group Formation. Di jurnal berjudul. Japanese Cultureand Behavior. Editor Takie Sugiyama Lembra & William P Lebra.University of Hawaii. Hawai
20 UUD 1945 amandemen keempat,  pasal 31 ayat 4.
21 Standar Nasional Pendidikan, (Jakarta: Cemerlang, 2005),  hlm. 102.
 


Daftar Pustaka

Alif  Lukmanul  Hakim,  2007, Merenungkan Kembali Pancasila Indonesia, Bangsa Tanpa Ideologi ,
Newsletter KOMMPAK Edisi I 2007.http://alif lukmanulhakim.blogspot.com.

Abdurrohim, Pendidikan Sebagai Upaya Rekonstruksi Sosial, posted by Almuttaqin at11:41 PM , http://almuttaqin-uinbi2b.blogspot.com/2008/04/Abdurrohim

Awaludin Marwan, 2009, Menggali Pancasila dari Dalam Kalbu Kita. Jakarta

Bagus Takwin. 2003,  Filsafat Timur; Sebuah Pengantar ke Pemikiran Timur. Jalasutra.Yogjakarta

Budiman, Hikmat,  2002, Lubang Hitam Kebudayaan , Kanisius, Yogyakarta

H. A.R Tilaar, 2002, Kebijakan Pendidikan, yogyakarta:Pusat Belajar

Haryatmoko, 2008, “Menuju Orientasi Pendidikan Humanis dan Kritis”, dalam buku Menemukan Kembali Kebangsaan dan Kebangsaan, Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika

Moh. Yamin,2009,  Menggugat Pendidikan Indonesia. Jogjakarta: Ar Ruz
Muhtar, 2009, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta GP Press
Rianti Nugroho,2008,  Pendidikan Indonesia: Harapan, Visi,dan Strategi, Jogjakarta: Pustaka Pelajar,
           
UUD 1945 amandemen keempat,  pasal 31 ayat 4.

ANONIM , 2005, Standar Nasional Pendidikan,  Jakarta: Cemerlang.