Jumat, 03 Agustus 2012

FUNGSI DAN STRUKTUR ARGUMEN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN








Tugas  Semester
FUNGSI DAN STRUKTUR ARGUMEN DALAM KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dosen Pengampu: Prof. Dr. H. Mukhtar.  M.Pd

Disusun Oleh:

Muhammad Bakri, S.Pd.I

NIM: P.p.210.2.1315



Program Pasca Sarjana Konsentrasi Kurikulum

Pendidikan Islam Istitut Agama Islam 

Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi



  1. Pendahuluan
Merupakan suatu kebutuhan bagi ilmuwan pendidikan, utamanya ilmuwan  administrasi pendidikan untuk memahami studi mengenai kebijakan publik (public policy) khususnya kebijakan pendidikan (educational policy). Diharapkan  dalam perumusan  kebijakan pendidikan  dan proses pembuatan kebijakan (policy maker) akan memberikan peran yang besar dalam perumusan berbagai kebijakan pendidikan. Dengan demikian kebijakan pendidikan akan memberikan dasar  yang kuat untuk meningkatnya kesadaran akan semakin pentingnya  daya saing dan dalam rangka pewujudan kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi dan adil, diikuti dengan kesungguhan banyak pihak dalam mendorong perkembangannya.[1]
Kebijakan merupakan suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu. Analisis kebijakan adalah suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat kebijakan dalam membuat keputusan. Analisis kebijakan dapat dipakai dalam perbaikan penilaian diantara para pembuat kebijakan. Analisis kebijakan (policy analysis) dapat dibedakan dengan pembuatan atau pengembangan kebijakan (policy development). Analisis kebijakan tidak mencakup pembuatan proposal perumusan kebijakan yang akan datang. Analisis kebijakan lebih menekankan pada penelaahan kebijakan yang sudah ada. Sementara itu, pengembangan kebijakan lebih difokuskan pada proses pembuatan proposal perumusan kebijakan yang baru. 
Kebijakan, menurut Titmuss, senantiasa berorientasi kepada masalah (problem-oriented) dan berorientasi kepada tindakan (action-oriented). [2] Kebijakan sekolah menjadi kata kunci dalam merumuskan tujuan umum dan spesifik sekolah, maka kebijakan sekolah harus benar-benar orientasinya kepada persoalan yang dihadapi oleh pendidikan itu sendiri, baik secara internal maupun eksternal yang disertai dengan upaya pembenahan, sehingga kualitas pelayanan sekolah dapat diwujudkan.[3] Namun demikian, baik analisis kebijakan maupun pengembangan kebijakan keduanya memfokuskan pada konsekuensi-konsekuensi kebijakan. Analisis kebijakan mengkaji kebijakan yang telah berjalan, sedangkan pengembangan kebijakan memberikan petunjuk bagi pembuatan atau perumusan kebijakan yang baru.
Menurut Dunn, analisis kebijakan adalah ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai metode penelitian dan argumentasi untuk menghasilkan informasi yang relevan dalam menganalisis masalah-masalah sosial yang mungkin timbul akibat diterapkannnya suatu kebijakan. Ruang lingkup dan metoda analisis kebijakan umumnya bersifat deskriptif dan faktual mengenai sebab-sebab dan akibat-akibat suatu kebijakan.  Analisis kebijakan adalah suatu jenis penelaahan yang menghasilkan informasi sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar-dasar pertimbangan para pembuat kebijakan dalam memberikan penilaian-penilaian terhadap penerapan kebijakan sehingga diperoleh alternatif-alternatif perbaikannya. Kegiatan penganalisisan kebijakan dapat bersifat formal dan hati-hati yang melibatkan penelitian mendalam terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang berkaitan dengan evaluasi suatu program yang telah dilaksanakan.





Ali Imron dalam bukunya Analisis Kebijakan Pendidikan  sebagaimana  yang dikutip dari Carter V Good menjelaskan bahwa kebijakan pendidikan adalah salah satu kebijakan Negara, memberikan pengertian kebijakan pendidikan (educational policy) sebagai suatu pertimbangan yang didasarkan atas system nilai dan beberapa penilaian atas factor-faktor yang bersifat situasional, pertimbangan tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengopersikan pendidikan yang bersifat melembaga.[4] Pertimbangan tersebut merupakan perencanaan yang dijadikan sebagai pedoman untuk mengambil keputusan, agar tujuan yang bersifat melembaga bisa tercapai.
Kebijakan pendidikan sangat erat hubungannya dengan kebijakan yang ada dalam lingkup kebijakan publik, misalnya kebijakan ekonomi, politik, luar negeri, keagamaan dan lain-lain. Konsekuensinya kebijakan pendidikan di Indonesia tidak bisa berdiri sendiri. Ketika ada perubahan kebijakan publik maka kebijakan pendidikan bisa berubah.. Bahkan pergantian menteri dapat  pula mengganti kebijakan yang telah mapan pada jamannya. Bukan hal yang aneh,ganti menteri berganti kebijakan.





Kajian substansi dari argumentasi kebijakan dimaksudkan untuk menguji apakah suatu gagasan cukup realistis. Untuk memperoleh usulan kebijakan yang diuji kemungkinan penerapannya berdasarkan analisis ekonomi,pendidikan,  politik, sosiologis, dan administratif sehingga setiap gagasan pembaharuan benar-benar dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi objektif  yang ada.





1. Analisis ekonomi dimaksudkan untuk melihat apakah suatu gagasan kebijakan benar-benar dapat diterapkan terutama jika dihubungkan dengan dukungan anggaran yang tersedia  dan kemungkinan kenaikan anggaran pendapatan negara masa depan. 
2. Analisis pendidikan dimaksudkan untuk melihat apakah suatu gagasan pendidikan cukup realistis dan memungkinkan kebijakan-kebijakan pendidikan tersebut untuk diterapkan. 
3. Analisis politis, dimaksudkan untuk menguji suatu gagasan kebijakan apakah memiliki dukungan secara politis (seperti RUU tentang sistem pendidikan nasional).
4. Analisis sosiokultural, dimaksudkan untuk melakukan kajian mengenai kemungkinan suatu kebijakan diterapkan dan bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan budaya dan bermasyarakat.
5. Analisis administratif, merupakan suatu cara untuk menguji usulan gagasan kebijakan berdasarkan pertimbangan apakah pertimbangan gagasan tersebut benar-benar dapat dijabarkan menjadi kegiatan yang lebih operasional.[5]






Kebijakan pendidikan (education policy) merupakan suatu keseluruhan proses dan hasil perumusan langkah-langkah strategis pendidikan yang dijabarkan dari visi misi pendidikan, dalam mewujudkan tercapainya tujuan pendidikan dalam suatu masyarakat dalam kurun waktu tertentu, impelementasi dari kebijakan pendidikan berupa undang-undang pendidikan, instruksi presiden, peraturan pemerintah, keputusan pengadilan dan peraturan menteri dan lain sebagainya yang terkait dengan pendidikan.[6]   
Didalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.  Analisis kebijakan tidak diciptakan untuk membangun dan menguji teori-teori deskriptif yang umum, misalnya teori-teori politik dan sosiologi mengenai elit pembuatan kebijakan atau teori-teori ekonomi mengenai determinan pembelanjaan publik, akan tetapi analisis kebijakan mengkombinasikan dan mentransformasikan substansi dan metode beberapa disiplin, dan lebih jauh lagi menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan yang digunakan untuk mengatasi masalah-masalah public tertentu.





Kebijakan publik merupakan suatu proses yang  amat kompleks, bersifat analitis dan politis yang tidak mempunyai awal atau akhir dan batas-batas dari proses tersebut pada umumnya tidak pasti. Kadangkala rangkaian kekuatan-kekuatan yang kompleks yang disebut pembuatan kebiajakan itu menghasilkan suatu akibat yang dinamakan kebijakan.
Analisis kebijakan dapat diharapkan untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai tiga macam pertanyaan:





a. Nilai yang pencapaiannya merupakan tolok ukur utama untuk melihat apakah masalah telah teratasi. 
b. Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai. 
c. Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai. 






Dalam makalah yang berjudul fungsi dan struktur argumen dalam kebijakan pendidikan  ini penulis ingin melihat  sejauh mana fungsi argumen  berpengaruh  dalam perumusan  kebijakan pendidikan  dan proses pembuatan kebijakan (policy maker).   Teori kebijakan pendidikan;  faktor yang mempengaruhi kebijakan pendidikan; berbagai kebijakan-kebijakan pendidikan; menganalisis berbagai kebijakan-kebijakan pendidikan yang ada kaitannya dengan argumen pendidikan.   











B. Pembahasan
1.Fungsi Dan Struktur Argumen Dalam Kebijakan
Menurut W. N. Dunn, Kebijakan Publik adalah suatu rangkaian plihan-pilihan yang saling berhubungan yang dibuat oleh lembaga atau pejabat  pemerintah pada bidang-bidang yang menyangkut tugas pemerintahan, seperti kesehatan, pendidikan, kesejahteraan masyarakat, perkotaan dan lain-lain. Sedangkan menurut Islamy kebijakan publik adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan dilaksanakan atau tidak dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan tertentu demi kepentingan seluruh masyarakat. [7]
Menurut Nugroho, ruang lingkup  kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai sektor atau bidang pembangunan. Seperti: kebijakan publik di bidang pendidikan, kesehatan, pertanian, transportasi, pertahanan, dan sebagainya. Apabila dilihat dari segi hirarkinya, maka kebijakan publik  bersifat nasional, regional dan lokal, seperti: undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan pemerintah provinsi, peraturan pemerintah kabupaaten/kota, keputusan presiden/menteri, keputusan bupati/kota
Argumen kebijakan atau dalam kata lain disebut sebagai pembuktian alasan-alasan kebijakan, merupakan faktor utama dalam pembuatan kebijakan untuk dapat menyajikan informasi yang relevan terhadap kebijakan. Setiap argumen kebijakan mempunyai enam elemen informasi yang relevan dengan kebijakan, klaim kebijakan, pembenaran, dukungan, bantahan, dan penguat. Analisis kebijakan umunya bersifat kognitif, sedangkan pembuat kebijakan bersifat politis. Sistem kebijakan bersifat dialektis, merupakan kreasi subyektif dari pelaku kebijakan, merupakan realitas objektif, dan para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan. Ada dua pendekatan yang berlawanan untuk mendefinisikan pengetahuan esensialis dan plausibilis. [8]








Kebijakan adalah aturan tertulis yang merupakan keputusan formal organisasi, yang bersifat mengikat, yang mengatur prilaku dengan tujuan untuk menciptakan tata nilai baru dalam masyarakat. Kebijakan akan menjadi rujukan utama para anggota organisasi atau anggota masyarakat dalam berprilaku (Dunn, 1999). Kebijakan pada umumnya bersifat problem solving dan proaktif.
 Berbeda dengan Hukum (Law) dan Peraturan (Regulation), kebijakan lebih adaptif dan interpratatif, meskipun kebijakan juga mengatur “apa yang boleh, dan apa yang tidak boleh”. Kebijakan juga diharapkan dapat bersifat umum tetapi tanpa menghilangkan ciri lokal yang spesifik. Kebijakan harus memberi peluang diinterpretasikan sesuai kondisi spesifik yang ada.
Pengetahuan yang siap pakai atau yang relevan dengan kebijakan mengandung pernyataan kebenaran yang secara plausibel optimal yang dibuat dengan keterlibatan di dalam proses komunikasi, argumentasi, dan debat kebijakan. Kriteria untuk mengkaji plausibilitas argumen kebijakan meliputi kelengkapan, konsonansi, kohesivitas, regularitas fungsional, dan kesederhanaan, kehematan dan ketepatan fungsional. Informasi kebijakan yang sama dapat mengarah ke pernyataan kebijakan yang sama sekali berbeda, tergantung pada asumsi yang terkandung di dalam suatu argumen kebijakan.








Faktor yang menentukan perubahan, pengembangan, atau restrukturisasi organisasi adalah terlaksananya kebijakan organisasi sehingga dapat dirasakan bahwa kebijakan tersebut benar-benar berfungsi dengan baik. Hakikat kebijakan ialah berupa keputusan yang substansinya adalah tujuan, prinsip dan aturan-aturan. Format kebijakan biasanya dicatat dan dituliskan sebagai pedoman oleh pimpinan, staf, dan personel organisasi, serta interaksinya dengan lingkungan eksternal.
Kebijakan diperoleh melalui suatu proses pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan (policy making) adalah terlihat sebagai sejumlah proses dari semua bagian dan berhubungan kepada sistem sosial dalam membuat sasaran sistem. Proses pembuatan keputusan memperhatikan faktor lingkungan eksternal, input (masukan), proses (transformasi), output (keluaran), dan feedback (umpan balik) dari lingkungan kepada pembuat kebijakan. [9]
Istilah kebijaksanaan adalah kearifan yang dimiliki oleh seseorang, sedangkan kebijakan adalah aturan tertulis hasil keputusan formal organisasi. Contoh kebijakan adalah : (1) Undang-Undang, (2) Peraturan Pemerintah, (3) Keppres, (4) Kepmen, (5) Perda, (6) Keputusan Bupati, dan (7) Keputusan Direktur. [10] Setiap kebijakan yang dicontohkan disini adalah bersifat mengikat dan wajib dilaksanakan oleh objek kebijakan. Contoh ini juga memberi pengetahuan pada kita bahwa ruang lingkup kebijakan dapat bersifat makro, meso, dan mikro.
Analisis kebijakan tidak berhenti pada penggunaan berbagai metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan informasi. Meskipun produksi dan transformasi informasi merupakan suatu hal yang esensial dalam analisis kebijakan, yang tidak kalah pentingnya adalah penciptaan dan penilaian secara kritis klaim pengetahuan yang didasarkan atas informasi tersebut. Klaim pengetahuan yang dikembangkan sebagai kesimpulan dari argumen-argumen kebijakan, mencerminkan alasan-alasan mengapa berbagai macam pelaku kebijakan tidak sepakat terhadap suatu alternatif kebijakan.

Argumen-argumen kebijakan, yang merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik, mempunyai enam elemen/unsur, yaitu :
1. Informasi yang relevan dengan kebijakan (I)
Dihasilkan melalui penerapan berbagai metode merupakan bukti dari kerja analisis. Informasi tentang masalah-masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi-aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan yang disajikan dalam berbagai bentuk. Informasi yang relevan dengan kebijakan merupakan titik tolak dari suatu argumen kebijakan. 
2. Klaim Kebijakan (C)
Merupakan kesimpulan dari suatu argumen kebijakan. Klaim kebijakan merupakan konsekuensi logis dari informasi yang relevan bagi kebijakan. Jika klaim kebijakan mengikuti penyajian informasi klaim tersebu berbunyi “maka”. Dengan demikian, klaim kebijakan merupakan konsekuensi logis dari informasi yang relevan bagi kebijakan. 
3. Pembenaran/Warrant (W)
Merupakan suatu asumsi di dalam argumen kebijakan yang memungkinkan analis untuk berpindah dari informasi yang relevan dengan kebijakan ke klaim kebijakan. Pembenaran dapat mengandung berbagai macam asumsi otoritatif, intuitif, analisentris, kausal, pragmatis, dan kritik nilai. Peranan dari pembenaran adalah untuk membawa informasi yang relevan dengan kebijakan kepada klaim kebijakan tentang terjadinya ketidak-sepakatan atau konflik, dengan demikian memberi suatu alasan untuk menerima klaim.
 4.  Dukungan/Backing (B)
Dukungan (B) bagi pembenaran (W) terdiri dari asumsi-asumsi tambahan atau argumen-argumen yang dapat digunakan untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima pada nilai yang tampak. Dukungan terhadap pembenaran dapat mengambil berbagai macam bentuk, yaitu hukum-hukum ilmiah, pertimbangan para pemegang otoritas keahlian, atau prinsip-prinsip moral dan etis. Dukungan terhadap pembenaran memungkinkan analisis bergerak ke belakang dan menyatakan asumsi-asumsi yang menyertainya. 
5.  Bantahan/Rebuttal (R)
Merupakan kesimpulan yang kedua, asumsi, atau argumen yang menyatakan kondisi di mana klaim asli tidak diterima, atau klaim asli hanya dapat diterima pada derajat penerimaan tertentu. Secara keseluruhan klaim kebijakan dan bantahan membentuk substansi isu-isu kebijakan, yaitu ketidak-sepakatan di antara segmen-segmen yang berbeda dalam masyarakat terhadap serangkaian alternatif tindakan pemerintah. Pertimbangan terhadap bantahan-bantahan membantu analis mengantisipasi tujuan-tujuan dan menyediakan perangkat sistematis untuk mengkritik salah satu klaim, asumsi dan argumennya. 
6.  Kesimpulan/Qualifier (Q)
Kesimpulan (Q) mengekspresikan derajat dimana analis yakin terhadap suatu klaim kebijakan. Dalam analisis kebijakan, pemberi sifat sering diekspresikan dalam bahasa probabilitas (seperti “Barangkali”, “Sangat mungkin”, “pada tingkat kepercayaan 0,01”). Ketika analis secara penuh yakin terhadap suatu klaim atau ketika kesimpulan sepenuhnya deterministik dan tidak mengandung kesalahan sama sekali, suatu kesimpulan tidak diperlukan [11]
Struktur argumen kebijakan mengilustrasikan bagaimana para analis dapat menggunakan informasi untuk merekomendasikan pemecahan bagi masalah-masalah kebijakan.. Argumen kebijakan memungkinkan kita terus melangkah melampaui perolehan informasi dan mentransformasikan informasi itu ke dalam kepercayaan tentang kebenaran yang dapat diterima (pengetahuan).
 Dengan demikian, analis dapat menggunakan kombinasi berbagai metode sehingga menjadi terbuka terhadap tantangan, dapat melakukan kritik diri, dan mampu mengarah kepada penyelesaian masalah-masalah, bukannya melakukan pembenaran terhadap alternatif-alternatif kebijakan yang disukai.
Dunn (1981) sendiri mengemukakan tentang modes of policy arguments. Argumentasi kebijakan model Dunn dapat digambarkan sebagai berikut. 
1. Seorang analis kebijakan akan dihadapkan pada penemuan penelitian/informasi yang sesuai dengan kebijakan yang sedang disoroti. 
2.  Informasi tersebut akan memiliki konsekuensi langsung dengan alternatif/usulan kebijakan (claim) yang mungkin dapat memecahkaan masalah bersangkutan. 
3.  Hubungan langsung antara info dengan claim tidak terjadi secara otomatis karena masih harus diuji dengan faktor pendukung (warrant) dan faktor penghambat (rebutal) [12]

Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu, karenanya kebijakan memuat tiga elemen penting diantaranya: 
1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai 
2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan 
3. Menyediakan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.

Struktur argumen kebijakan mengilustrasikan bagaimana para analis dapat menggunakan informasi untuk merekomendasikan pemecahan bagi masalah-masalah kebijakan.. Argumen kebijakan memungkinkan kita terus melangkah melampaui perolehan informasi dan mentransformasikan informasi itu ke dalam kepercayaan tentang kebenaran yang dapat diterima (pengetahuan).
 Dengan demikian, analis dapat menggunakan kombinasi berbagai metode sehingga menjadi terbuka terhadap tantangan, dapat melakukan kritik diri, dan mampu mengarah kepada penyelesaian masalah-masalah, bukannya melakukan pembenaran terhadap alternatif-alternatif kebijakan yang disukai.
Dunn (1981) sendiri mengemukakan tentang modes of policy arguments. Argumentasi kebijakan model Dunn dapat digambarkan sebagai berikut.
  1. Seorang analis kebijakan akan dihadapkan pada penemuan penelitian/informasi yang sesuai dengan kebijakan yang sedang disoroti.
  2. Informasi tersebut akan memiliki konsekuensi langsung dengan alternatif/usulan kebijakan (claim) yang mungkin dapat memecahkaan masalah bersangkutan.
  3. Hubungan langsung antara info dengan claim tidak terjadi secara otomatis karena masih harus diuji dengan faktor pendukung (warrant) dan faktor penghambat (rebutal).[1]

Kebijakan merupakan serangkaian tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seseorang atau sekelompok pelaku guna memecahkan masalah tertentu, karenanya kebijakan memuat tiga elemen penting diantaranya:
  1. Identifikasi dari tujuan yang ingin dicapai
  2. Taktik atau strategi dari berbagai langkah untuk mencapai tujuan yang diinginkan
  3. Menyediakan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari taktik atau strategi.
 Bentuk-Bentuk Argumentasi

No
Bentuk
Pola Alasan (reasoning Pattern)
1.
Otoritas
Pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen dari pihak yang berwenang
2.
Metoda
Pernyataan kebijakan didasarkan pada status pembuktian dari metoda dan teknik yang dipakai dalam menghasilkan info
3.
Generalisasi
Pernyataan kebijakan didasarkan kesamaan antara sampel dan populasi dari sampel yang diseleksi
4.
Klasifikasi
Pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen keanggotaan dalam satu kelas.
5.
Sebab
Pernyataan kebijakan  yang dibuat dari satu sebab informasi diubah menjadi pernyataan berdasarkan asumsi tentang adanya kekuatan penyebab tertentu dan hasilnya.
6.
Tanda
Pernyataan kebijakan didasarkan pada tanda, petunjuk dan acuan-acuan keberadaan tanda menunjukkan keberadaan suatu kejadian
7.
Motivasi
Pernyataan kebijakan didasarkan pada argumen yang berasal dari adanya pengaruh tujuan,  nilai, dan dorongan
8.
Intuisi
Pernyataan kebijakan didasarkan pada pengetahuan terpendam emosi dan spritual
9.
Analogi metapora
Reasoning ( alasan ) dari bentuk ini didasarkan pada kesamaan hubungan diantara latar kebijakan
10.
Kasus Paralel
Pernyataan kebijakan didasarkan pada kasus pembuatan kebijakan
11.
Etika
Pernyataan kebijakan didasarkan pada asumsi kebaikan dan kejelekan  kebenaran atau kekeliruan dari kebijakan dan konsekuensinya.


 
Struktur Argumentasi Kebijakan Pendidikan

 

 
QUALIFER 
INFO                                                                                                            CLAIM

Guru harus memiliki Kompe-                                                                        Perlu kebijakan            sertifikasi
tensi keguruan (profesional)                                                              kualifikasi  profesional                                                                      
WARANTtt
 
                                   
     

  1. UU No.  19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
  2. REBUTALL
     
    UU No. 20 tahun 2003 tentang
Sisdiknas
      3.   Pelatihan dan pengembangan profesi          
(pasal 14, 1)                                                                             1. Kualifikasi Sertifikasi bukan                                                                                                            profesional tapi kesejahteraan
      4 .AD/ART PGRI                                                                            2. Terdapat tenaga pengajar
 5.  UUD No. 14 tentang Guru dan Dosen                                         lulusan SPG setingkat SMA
3. Anggaran pemerintah  kurang     dari 20 % bid. pendidikan
                                                                                                                   
              
           
Diagram 3.4 Argumentasi Kebijakan Pendidikan dalam kasus sertifikasi kompetensi
Informasi  (I) Guru harus memiliki kompetensi  keguruan (profesional)

Warrant  (pembenaran)
    1. UU No. 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan
    2. UU No. 23 tahun 2003 tentang sisdiknas
    3. Pelatihan dan pengembangan profesi ( pasal 14, 1)
    4. AD / ART PGRI
    5. UU No. 14 tentang guru dan dosen
Rebuttal (bantahan)
  1. Kualifikasi sertifikkasi bukan  berdasarkan profesional melainkan kesejahteraan
  2. Terdapat tenaga pengajar yang hanya lulusan SPG setingkat SMA
  3. Anggaran pemerintah kurang dari 20 % dibidang pendidikan, kontradiktif dengan amanat UUD 45

Klaim  Kebijakan (c)
            Diperlukannya regulasi bahwa sertifikasi bukan berdasarkan  usia/kesejahteraan melainkan berdasarkan profesional.
Model-model kebijakan adalah penyederhanaan representasi aspek-aspek kondisi masalah yang terseleksi. Model-model kebijakan berguna dan penting, penggunaannya bukan masalah pilihan, semenjak setiap orang menggunakan beberapa model untuk menyederhanakan kondisi masalah. Cara-cara (modus) dari argumen kebijakan antara lain: Argumen Otoritas, Argumen Metode, Argumen Generalisasi, Argumen Klasifikasi, Argumen Penyebeb (Cause), Argumen Petunjuk, tanda (sign), Argumen Motivasi, Argumen Kasus yang paralel, Argumen Etika.
Dimensi-dimensi yang paling penting dari model-model kebijakan adalah tujuan (deskriptif lawan normatif), bentuk ekspresi (verbal, simbolis, prosedural), dan asumsi-asumsi metodologis (pengganti lawan perspektif).

Metode-metode untuk merumuskan masalah-masalah kebijakan meliputi analisis batasan, analisis klasifikasional, analisis hierarki, sinektika, brainstorming, analisis perspektif berganda, analisis asumsional dan pemetaan argumentasi. Rekomendasi berkenaan pemilihan secara bernalar dua atau lebih alternatif. Model pilihan yang sederhana meliputi definisi masalah yang memerlukan dilakukannya suatu tindakan; perbandingan konsekuensi dua atau lebih alternatif untuk memecahkan masalah; dan rekomendasi alternatif yang paling dapat memenuhi kebutuhan, nilai atau kesempatan. [13]
Dalam menghasilkan informasi dan argumen, seorang analis dapat memakai satu atau lebih dari tiga pendekatan, yaitu empiris, valuatif, dan normative. Pendekatan empiris ditekankan pada sebab akibat dari suatu kebijakan public tertentu. Disini pertanyaan utama bersifat factual (Apakah sesuatu ada?) dan informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Analis misalnya, dapat mendeskripsikan, menjelaskan, atau meramalkan pengeluaran public untuk kesehatan, pendidikan, atau jalan-jalan raya. Sebaliknya, pendekatan valuatif terutama ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kebijakan. Disini pertanyaannya berkenaan dengan nilai (Berapa nilainya?) dan informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Sedangkan pendekatan normative ditekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah public.
Sebagai suatu definisi analisis kebijakan menekankan sifat praktis terhadap tanggapan-tanggapan masalah yang muncul dan krisis yang dihadapi pemerintah. Lima tipe informasi yang dihasilkan oleh analisis kebijakan adalah: masalah kebijakan, masa depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, dan kinerja kebijakan [14]
Kelima tipe informasi tersebut diperoleh melalui lima prosedur analisis kebijakan: perumusan masalah, peramalan, rekomendasi, pemantauan, dan evaluasi. Pemantauan (deskripsi) memungkinkan untuk menghasilkan informasi tentang sebab masa lalu dan akibat dari kebijakan. Peramalan (predisksi) memungkinkan untuk menghasilkan informasi tentang konsekuensi yang akan dating dari kebijakan. Evaluasi (evaluasi) mencakup produksi informasi tentang nilai atau kegunaan dari kebijakan yang lalu dan yang akan datang.
Rekomendasi (preskripsi) menghasilkan informasi tentang kemungkinan bahwa serangkaian tindakan yang akan datang akan mendatangkan akibat yang bernilai.
Perumusan masalah. Artinya harus mengetahui keberadaan suatu masalah. Perumusan masalah kebijakan adalah suatu proses penyelidikan untuk mengumpulkan informasi mengenai konsekuensi-konsekuensi kebijakan sosial yang mempengaruhi kelompok sasaran. Perumusan masalah kebijakan juga mencakup pencarian solusi-solusi terhadap  dampak-dampak kebijakan yang bersifat negatif. Secara umum, proses pembuatan kebijakan disekolah meliputi:
1.      Penetapan sasaran dan tujuan yang akan dicapai.
2.      Perincian tujuan dalam pola atau kelompok operasional.
3.      Menyusun tindakan-tindakan untuk mewujudkan tujuan yang akan ditetapkan.
4.      Memilih masing-masing tindakan alternatif.
5.      Memilih tindakan yang terbaik sebagai keputusan sementara.
6.      Menginventarisasikan akibat-akibat sampingan yang tidak baik dari keputusan sementara tersebut.
7.      Menetapkan keputusan sementara menjadi keputusan terakhir dengan menyusun rencana pelaksanaan (rencana implementasi). [15]
Dalam analisis kebijakan, prasyarat biasanya dinyatakan dalam bahasa “kemungkinan” atau probabilitas. Misalnya, “kemungkinan besar”, “kecenderungannya adalah” atau biasanya dinyatakan dalam bahasa “kemungkinan” atau probabilitas. Misalnya, “kemungkinan besar”, “kecenderungannya adalah” atau “pada taraf signifikansi 1 persen" [16]
Sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional dimana di dalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbale balik diantara tiga unsure, yaitu kebijakan public, pelaku kebijakan, dan lingkungan kebijakan. Hal tersebut digambarkan seperti bagan di bawah ini. Bentuk Analisis Kebijakan.
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu.
Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Keduanya baik analisis kebijakan sebelum maupun sesudah adanya kebijakan mempunyai tujuan yang sama yakni memberikan rekomendasi kebijakan.
Dunn membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:
1. Analisis kebijakan prospektif         
AnalisiKebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.
           2.  Analisis kebijakan retrospektif                                                                                          
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan. 
3. Analisis kebijakan yang terintegrasi
AnalisisKebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil.
Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

FUNGSI-FUNGSI  ARGUMEN  KEBIJAKAN
Argumen yang substantive berperan untuk membangun atau mengkritik validitas pernyataan, baik pernyataan tentang kebenaran yang implicit di dalam pernyataan itu sendiri atau pernyataan yang terkait dengan norma (dari tindakan ataupun evaluasi) atau pernyataan yang tersirat di dalam rekomendasi dan peringatan. Pernyataan-pernyataan tersebut mempunyai kekuatan untuk meyakinkan para partisipan wacana untuk menyediakan pijakan rasional terhadap adanya pernyataan tentang validitas. Fungsi utama argumen kebijakan antara lain:
1. Membangkitkan perdebatan atau pembahasan untuk meningkatkan keabsahan, kekuatan, dan kemanjuran dari sebuah kebijakan (dialectical function) 
2. Memberikan kesimpulan yang kuat secara empiris dan memiliki kebenaran secara optimal (logical-emphirical function) 
3. Mengajak dan mempengaruhi pihak lain untuk menerima argumen kebijakan            (rhethorical function)
JURGEN HABERMAS, Legitimation Crisis (1975) Maksud dari argumen kebijakan dalam hal ini adalah mengkaji struktur argumen kebijakan dan perannya dalam mengubah informasi kebijakan menjadi pengetahuan yang siap pakai. Tujuan utamanya adalah menjelaskan bagaimana informasi yang sama dapat menuntun ke pernyataan pengetahuan yang berbeda, tergantung pada asumsi yang dipakai untuk melakukan argumen dan debat kebijakan.
Ada dua pendekatan yang berlawanan untuk mendefinisikan pengetahuan: “esensialis” dan ‘plausibilis”. Untuk dapat dipandang sebagai pengetahuan, keyakinan tidak harus pasti; keyakinan dapat bersifat plausible secara optimal dalam konteks tertentu dan masih berkualitas sebagai pengetahuan.
1.      Ketika dipertentangkan dengan analisis kebijakan yang standar, kelebihan utama dari cara argumen structural adalah bahwa cara ini bersifat interpretative, multirasional, kritis, transaktif, etis, dan multi cara.
2.      Criteria untuk mengkaji plausibilitas argument kebijakan meliputi kelengkapan, konsonansi, kohesivitas, regularitas fungsional, dan kesederhanaan, kehematan dan ketepatan fungsional.
 Sistem kriteria ini dapat diterapkan pada banyak cara argumen kebijakan dan relevan terhadap standar, aturan dan prosedur yang dipakai para pakar maupun orang awam.
Posisi kebijakan dipengaruhi/ berkaitan dengan (dan karenanya tidak dapat mengabaikan) beragam faktor, diantaranya:
 
1. Fakta, menyangkut konteks realita yang secara faktual dihadapi;  
2.  Nilai-nilai (values) yang dianut, yang memberikan arah atau sebagai faktor mendasar yang mempengaruhi pertimbangan tentang hal ideal, baik-burukataupun atribut-atribut lain dalam suatu konteks sosial-budaya; 
3. Keyakinan (beliefs) yang mencerminkan pandangan, konsepsi ideal danbersama-sama dengan nilai membentuk paradigma (cara pikir/pandang,sikap dan tindakan) yang diyakini;  
4. Tujuan Posisi Kebijakan. Tujuan yang hendak dicapai dengan memberikan dampak pengaruh melalui proses intervensi (campur tangan) yang dilakukan.
            Kesemua faktor tersebut secara bersama biasanya akan mempengaruhi posisi kebijakan,termasuk misalnya menyangkut tataran peraturan perundangan, bentuk kebijakan sebagai campur tangan dalam mengubah kondisistatus-quo tertentu, respons dari kelompok yang dipengaruhi(termasuk misalnya potensi “ancaman bahaya moral” atau moral hazard  yang mungkin muncul darikelompok yang dipengaruhi maupun dari pembuat kebijakan itu sendiri), dan sebagainya.Suatu kebijakan esensinya akan mencerminkan/menggambarkan strategi, prioritas, tujuan,sasaran, dan hasil (outcome) yang diharapkan. Agar kebijakan berfungsi efektif, diperlukan“instrumen/alat” kebijakannya (policy tools/instruments). Jadi, instrumen kebijakan adalah seperangkat langkah atau tindakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk merealisasikan kebijakan yang ditetapkan. Setiap (atau kombinasi beberapa) instrumen kebijakan biasanya melibatkan (mengandung) setidaknya 3 (tiga) aspek, yaitu:
1)      Piranti hukum (legal devices): menyangkut aspek legal/hukum yang mendukungnya(melandasinya);
2)      Tatanan kelembagaan (institutional setting): berkaitan dengan tatanan lembaga (organisasi)yang terlibat, fungsi dan pengorganisasian (struktur dan hubungan atau interaksi antaraktor);
3)      Mekanisme operasional (operational mekanisme): berkaitan dengan pola, cara/metode dan prosedur serta proses pelaksanaan dalam implementasi praktis.Selain itu, hal yang juga penting dipertimbangkan berkaitan dengan perancangan instrumenkebijakan adalah tatanan sosial (social arrangement) bagi konteks kebijakan tersebut.

Berdasarkan bentuk “tujuan utama” kebijakan, maka terdapat 6 (enam) kelompok tindakan kebijakan  (policy actions) yang paling mendasar, yaitu:
1)      Regulasi (regulation): merupakan tindakan kebijakan yang bersifat penetapan pengaturan (regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah membuat ketentuan danbatasan atau “rambu-rambu” tertentu dalam konteks bidang/isu yang diatur.
2)      Deregulasi (deregulation): merupakan tindakan kebijakan yang bersifat penetapan pengaturan (regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalah membuat penghapusan ataupelonggaran ketentuan dan batasan tertentu (atau hal-hal yang sebelumnya dinilai membatasi)dalam konteks bidang/isu yang diatur.
3)       Insentif (incentives/rewards): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifatpenetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalahmerangsang, mendorong atau mempercepat proses tertentu atau pencapaian hal tertentu dengan memberikan suatu bentuk rangsangan atau imbalan tertentu dalam konteks bidang/isutertentu.
4)      Penyediaan infrastruktur (infrastructure provisions): merupakan tindakan kebijakan yang padadasarnya bukan bersifat penetapan pengaturan (non-regulatory),dengan esensi dan bentuktujuan utamanya adalah memberikan/menyediakan hal tertentu yang biasanya bersifat infrastruktural dan barang publik (public goods) dalam konteks bidang/isu tertentu.
5)      Informasi/pedoman (information/guidance): merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnyabukan bersifat penetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuanutamanya adalah memberikan/menyediakan dan menyampaikan hal tertentu yang berupainformasi atau berfungsi sebagai pedoman (panduan) spesifik dalam konteks bidang/isutertentu.
6)       Pengaruh(influence):merupakan tindakan kebijakan yang pada dasarnya bukan bersifatpenetapan pengaturan (non-regulatory), dengan esensi dan bentuk tujuan utamanya adalahmempengaruhi, atau mendorong terjadinya perubahan atau membantu proses perubahan padapihak tertentu (atau masyarakat umum) dalam konteks bidang/isu tertentu.

 
Kesemua bentuk ini tentu dapat saling melengkapi, esensi kepentingannya pada dasarnya kontekstual dengan ketepatan/kesesuaiannya sebagai alat dalam menjawab isu yang hendak diatasi (dan mencapai tujuan yang dikehendaki).
 Solusi “regulasi” tidak selalu merupakan alat yang paling efektif dalam memecahkan isu kebijakan, bahkan dapat berpotensi kontra produktif. Sebaliknya, kelemahan kerangka regulasi (regulatory framework) dapat menjadi “sumber”kelemahan atau tidak efektifnya instrumen kebijakan lainnya.
Analisis kebijakan tidak hanya menghasilkan berbagai macam informasi, tetapi juga memindahkan informasi sebagai bagian dari argumen yang bernalar mengenai kebijakan publik. Argumen kebijakan (policy arguments) menggambarkan alasan mengapa antara golongan-golongan yang ada dalam masyarakat tidak sepakat mengenai arah tindakan yang telah ditempuh oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan publik.
Argumen kebijakan sendiri berfungsi sebagai kendaraan utama dalam melakukan perdebatan mengenai isu-isu seputar kebijakan publik tertentu. Struktur argumen kebijakan yang disarankan oleh William N. Dunn, dan juga sering dipakai oleh analis-analis kebijakan publik, mengadopsi teori Stephen Toulmin mengenai silogisme retorikal (Dunn, 2000:143-144).
Ada tiga tipe pendekatan berupa dasar pertanyaan dalam analisis kebijakan yang dapat menghasilkan pernyataan berupa klaim dalam argumen kebijakan (Dunn, 2000:98), yaitu: pertanyaan designative atau empiris yang berbasiskan fakta, pertanyaan evaluative yang berbasiskan nilai, dan pertanyaan advocative atau normatif yang berbasiskan pada tindakan.
Ketujuh bentuk argumen kebijakan yang lain memandang nilai sebagai sesuatu yang sudah ada dengan sendirinya atau given, dan bentuk argumen kritik-nilai menjadi satu-satunya bentuk argumen kebijakan yang berusaha untuk mengungkap alasan mengapa nilai-nilai tertentu dipegang (Dunn, 2000:193).
Pemahaman tentang sifat ketergantungan nilai dari ilmu sosial merupakan hal yang krusial dalam memahami peran nalar dan etika dalam analisis kebijakan. Tidak ada penyelidikan terhadap suatu masalah kebijakan yang dapat bebas dari pengaruh nilai itu sendiri karena semua bentuk penyelidikan sepenuhnya didasarkan pada keyakinan tentang sifat manusia, masyarakat, pemerintah, dan sifat pengetahuan itu sendiri. Sebab itulah, semua bentuk analisis kebijakan harus dipahami berikut potensi ideologisnya, dalam artian bahwa metode analisis kebijakan dapat menyembunyikan nilai yang sesungguhnya dipegang oleh seorang analis kebijakan.

Pendidikan merupakan transfer of knowledge, transfer of value dan transfer of culture and transfer of religius yang semoga diarahkan pada upaya untuk membangun potensi manusia. Hakikat proses pendidikan ini sebagai upaya untuk mengubah perilaku individu atau kelompok agar memiliki nilai-nilai yang disepakati berdasarkan agama, filsafat, ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.
Menurut pandangan Paula Freire pendidikan adalah proses pengaderan dengan hakikat tujuannya adalah pembebasan. Hakikat pendidikan adalah kemampuan untuk mendidik diri sendiri. Dalam konteks ajaran Islam hakikat pendidikan adalah mengembalikan nilai-nilai ilahiyah pada manusia (fitrah) dengan bimbingan Alquran dan as-Sunnah (Hadits) sehingga menjadi manusia berakhlakul karimah (insan kamil) Dengan demikian hakikat pendidikan adalah sangat ditentukan oleh nilai-nilai, motivasi dan tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Maka hakikat pendidikan dapat dirumuskan sebagi berikut :
a.       Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik;
b.         Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat;
c.        Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat;
d.        Pendidikan berlangsung seumur hidup;Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu. [17]
Hakekat pendidikan tergantung kepada pandangan tentang hakekat manusia. Ada beberapa pandangan manusia menurut para tokoh. Pertama Ki Hajar Dewantara, menurutnya, manusia itu pada dasarnya merupakan mahkluk yang berdiri sendiri dan bertanggung jawab atas eksistensinya, kedua Romo Mangun, dia memandang manusia sebagai mahkluk kreatif yang dianugrahi oleh Allah dengan kebebasan berfikir untuk menentukan tempatnya sendiri di dunia ini, ketiga pandangan manusia menurut Poulo Freire, menurutnya, manusia adalah makhluk yang bebas namun dipenjara dalam berbagai kehidupan social sehingga manusia itu kehilangan kesadarannya untuk kreatif dan mengembangkan kemanusiaanya, keempat menurut Amartya Sen, manusia menurutnya, mempunyai berbagai kemampuan yang dapat dikembangkan apabila dia mempunyai kesempatan untuk mengembangkannya. [18]
Suatu kebijakan mempunyai makna intensional. Oleh sebab itu, kebijakan mengatur tingkah laku seseorang atau organisasi dan kebijakan meliputi pelaksanaan serta evaluasi dari tindakan tersebut. Hasil evaluasi tersebut akan menentukan bobot serta validitas dari kebijakan tersebut. Dalam kebijakan telah kita lihat berkaitan dengan wilayah etika melihat kenyataan tindakan pendidikan sebagai suatu proses pemberdayaan peserta didik.
Oleh  karena  pendidikan  merupakan suatu ilmu praksis yang berarti kesatuan teori dan praktik maka kebijakan pendidikan terletak dalam tatanan normaif dan tatanan deskriptif.
Dengan demikian proses pendidikan dapat kita rumuskan sebagai proses hominisasi dan humanisasi yang berakar pada nilai-nilai moral dan agama, yang berlangsung baik di dalam lingkungan hidup pribadi, keluarga, masyarakat dan bangsa, kini dan masa depan. [19]

 Rumusan Kebijakan Pendidikan

Keberhasilan dalam pembuatan kebijakan adalah langkah pertama dengan mencakup identifikasi dari bidang umum, analisis, penyusunan sasaran, memutuskan bidang-bidang pelaksanaan, menjelajahi administrasi secara luas, politik dan dimensi masyarakat, negosiasi dan konsultasi, dan akhirnya formulasi akhir serta pelasanaan kebijakan. Efektivitas pembuatan kebijakan adalah kesamaan dari sasaran pada semua level untuk meningkatkan peluang pencapaian sasaran organisasi dan tidak menghamburkan energi dalam konflik.
Banyak ahli politik sepakat bahwa proses pembentukkan kebijakan adalah integral bagi sistem politik yang ada. Pembentukan kebijakan merupakan tahap penentu pada proses politik yang efektif, dirubah menjadi keputusan yang berkewenangan. [20] Kebijakan yang di hasilkan oleh sebuah pemerintahan tentunya melalui proses ilmiah untuk menghasilkan sebuah kebijakan, begitu juga dengan kebijakan pendidikan yang meracik seputar kebutuhan dalam pendidikan agar dapat terlaksana, untuk merumuskan kebijakan pendidikan berdasarkan sistematis seperti berikut ini:

1.    Munculnya Masalah dan Isue
Masalah kebijakan (publik) adalah kebutuhan dan nilai yang belum terpenuhi atau kesempatan untuk mengadakan perbaikan yang hanya dapat dilakukan melalui kebijakan publik (David Dery).
 Isu kebijakan (publik) adalah pandangan yang berbeda tentang masalah kebijakan serta cara untuk memecahkannya (W.N. Dunn) [21] Masalah merupakan kensenjangan antara harapan dan kenyataan sehingga menjadi memunculkan kegelisahan yang muncul pada masyarakat.
Bermuara dari problem yang muncul hingga berkembang menjadi hot news isue  yang berkembang di kancah publik menuai pro–kontra yang merupakan hasil perdebatan mengenai devinisi, eksplanasi dan evaluasi masalah.
Perumusan kebijakan adalah pijakan awal dalam kebijakan publik di bidang politik, yang terdiri dari 2 lapisan kelompok sosial: 1) lapisan atas dengan jumlah yang sangat kecil (elit) yang selalu mengatur; 2) lapisan bawah (massa) dengan jumlah yang sangat besar sebagai yang diatur, Peraturan Pemerintah mencerminkan kehendak atau nilai-nilai elit yang berkuasa. Masyarakat tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi & menciptakan opini tentang isu kebijakan yang seharusnya menjadi agenda politik di tingkat atas.
Sementara birokrat/ administrator hanya menjadi mediator bagi jalannya informasi yang mengalir dari atas ke bawah. Elit politik selalu ingin mempertahankan status quo, maka kebijakannya menjadi konservatif. Perubahan kebijakan bersifat inkremental maupun trial and error yg hanya mengubah atau memperbaiki kebijakan sebelumnya. Maka disaat ini isu yang berkembang menjadi perhatian publik di bidang pendidikan dengan berkembangnya isu informasi di dapat dengan mudah sehingga dapat mengetahui kesalahan dalam sebuah kebijakan dan agar dapat memperbaikinya. 
2.         Pengagendaan
Pada tahap ini seluruh isu dan masalah yang berkembang yang mempunyai urgensi terhadap kemaslahatan masyarakat, maka  secara otomatis isu dan masalah tersebut mendapat perhatian publik dan pejabat yang berwenang. Para aktor yang memfilter masalah dan isu yang muncul yang layak untuk di lakukan untuk di identifikasi lebih awal di bandingkan dengan isu dan masalah lain yang sedang hangat, untuk dimasukkan kepada pengagendaan kebijakan merupakan kesepakatan dan juga hasil konfliknya terjadi di antara elit politik itu sendiri.
Munculnya berbagai masalah yang sangat urgen di kalangan masyarakat menjadi sorotan publik baik melalui media massa maupun media cetak para pejabat yang menangani masalah yang berkaitan dengan jabatannya menjadi pengagenda dan memfilter masalah yang ada, pada tahap ini suatu masalah bisa tidak disentuh dan yang lain menjadi fokus dengan melihat kualitas masalah yang ada.

Formulasi Kebijakan  
Setelah masalah teridentifikasi maka berlanjut kepada proses yang sangat urgen yaitu perumusan kebijakan pendidikan, Anderson mengungkapkan perumusan kebijakan menyangkut upaya menjawab pertanyaan bagaimana berbagai alternatif disepakati untuk masalah-masalah yang dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi. [22] ini merupakan proses yang secara spesifik ditujukan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan khusus.
Pada tahap formulasi, masalah-masalah yang sudah masuk ke dalam agenda para perumus kebijakan mencari pemecahan masalah terbaik, semua yang mempunyai kepentingan disini bersaing untuk memberikan kontribusi agar dapat dikonsumsi oleh perumus kebijakan kemudian para kebijakan. Mengadopsi masukan yang ada dari sekian banyak alernatif yang di tawarkan oleh perumus hingga mengambil keputusan kebijakan yang akan di tetapkan oleh lembaga legislatif, atau peradilan.
 Jika sebuah kebijakan telah diambil maka secara tidak langsung pemerintah mewajibkan untuk mengimplementasikan kepada unit-unit administtrasi yang memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia pada tahap terakhir evaluasi dengan bertujuan untuk melihat sejauh mana kebijakan yang telah di rumuskan dapat memcahkan permasalahan. [23]

Dalam khasana teori perumusan kebijakan, dikenal setidaknya tiga belas jenis teori perumusan kebijakan, [24] yaitu: 1)Teori kelembagaan. 2)  Teori proses, 3) Teori kelompok, 4) Teori Elit, 5) Teori Rasional, 6) Teori Inkremental, 7) Teori Permainan, 8) Teori Pilihan Publik, 9)  Teori system, 10) Teori pengamatan, 11) Teori Demokratid, 12) Teori Strategis, 13) Teori Deliberasi.
Terdapat dua pendekatan dalam analisis kebijakan yaitu; pertama pendekatan deskriptif merupakan penelitian dalam ilmu pengetahuan untuk menerangkan sesuatu gejala yang terjadi dalam masyarakat pendekatan ini disebut juga pendekatan positif dengan ilmu pengetahuan menyajikan keadaan apa adanya dari suatu gejala, kedua pendekatan normatif merupakan upaya ilmu pengetahuan untuk menawarkan suatu norma atau kaidah yang dapat digunakan oleh pemakai dalam rangka memecahkan masalah bertujuan untuk membantu para pengambil keputusan dalam bentuk pemikiran-pemikiran mengenai cara atau prosedur yang paling efesien dalam memecahkan suau masalah kebijakan publik disamping itu pendekatan normatif yang dimaksudkan untuk membantu para pengambil keputusan dalam memberikan gagasan hasil pemikiran agar para pengambil keputusan dapat memecahkan suau masalah kebijakan. [25]
Dalam hal ini, Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh, mengingatkan kepada para pembuat kebijakan, agar di dalam membuat kebijakan harus berdasarkan  pada pilar 5K, yakni  Ketersediaan, Keterjangkauan, Kualitas, Kesetaraan dan Kepastian kelima pilar ini menjadi satu kesatuan dan harus dilaksanakan pada akselerasi yang sama, jika perluasan pendidikan yang bermutu menjadi target kebijakan pendidikan. Pilar Ketersediaan merefleksikan jaminan, bahwa layanan pendidikan harus tersedia bagi semua anak usia pendidikan, dari dasar sampai perguruan tinggi. “Sedangkan pilar Keterjangkauan mempunyai dua makna, yakni Keterjangkauan secara ekonomis (affordable), dan Keterjangkauan secara geografis (reacheable).
Pilar Kesetaraan memiliki nilai tersendiri, karena setiap orang di negeri ini memang pantas dan layak untuk mendapatkan sebuah pendidikan.Terakhir pilar Kepastian merupakan komitmen pemerintah untuk menjamin bahwa peserta didik dapat memilih jenis dan jalur, serta jenjang pendidikan yang sesuai dengan potensi akademis, minat dan bakatnya. Dimana pemerintah pusat dan daerah, beserta masyarakat secara bersama-sama menjamin kepastian ini [26]. Menurut Newton dan Tarrant, sebagaimana dikutif oleh Safaruddin, proses membuat kebijakan dan penyusunan tujuan untuk meletakkan kebijakan kedalam praktik adalah menguji kebaikannya secara detail. Kebijakan dapat berasal pada sejumlah tingkatan atau dari berbagai macam sumber yaitu : pemerintah pusat, pemerintah daerah, administrator,  guru dan lain-lain.
Kebijakan publik untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empat kategori. Pertama, ada kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa. Kedua, ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, dan pengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian. Ketiga berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional. Kategori keempat ialah kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan. [27]




4.    Aktor-Aktor Dalam Perumusan Kebijakan Pendidikan
Seperangkat peraturan tidak mungkin muncul dengan sendirinya tanpa adanya yang membuat, begitu pula dengan kebijakan pendidikan. Simeon, menggolongkan lingkungan kebijaksanaan pendidikan menjadi; lingkungan politik dan lingkungan non politik,
kedua lingkungan ini menurutnya sama-sama mempunyai pengaruh terhadap kebijakan, termasuk kebijaksanaan pendidikan. Kedua aktor-aktor, dalam hal menentukan siapa aktor kebijakan David Easton menerangkan bahwa ciri kebijakan publik yaitu kebijakan yang diformulasikan oleh penguasa dalam sistem politik. Bercermin dari stakeholder yang sukses dalam memutuskan kebijakan pendidikan dilakukan oleh Bill Clinton, ketika menjabat Gubernur Arkansas dan dilanjutkannya saat menjabat presiden Amerika Serikat, yakni selalu melibatkan 3 (tiga) aktor utama dalam proses sebuah kebijakan pendidikan secara sinergis, mereka adalah unsur; (1) pemerintah, (2) para guru, dan (3) pakar pendidikan yang dipandang beliau lebih memahami kotak hitam (black box) persoalan pendidikan, bukan birokrat bermental proyek. [28]
Disini jelas terlihat bahwa pengambilan keputusan kebijakan di Amerika sangat sinergi karena aktor yang berberan ialah orang-orang yang berkompetensi di bidang pendidikan sehingga para aktor mengetahui apa yang diharapkan oleh pasar pendidikan dan percepatan global.
 Berbeda halnya dengan negara Indonesia aktor yang di tetapkan oleh pemerintah ialah orang-orang yang mempunyai power didalam kalangan elit politik tanpa melibatkan ahli pendidikan jikapun ada keputusan dominan pada elit politik.  Dalam merumuskan kebijakan pendidikan, para pembuat kebijakan hendaknya memperhatikan beberapa karakteristik khusus. [29]

Adapun karakteristik yang dimaksud adalah :
a)      Memiliki tujuan pendidikan, Kebijakan pendidikan harus memiliki tujuan, namun lebih khusus, bahwa ia harus memiliki tujuan pendidikan yang jelas dan terarah untuk memberikan kontribusi pada pendidikan.
b)        Memenuhi aspek legal-formal, Kebijakan pendidikan tentunya akan diberlakukan, maka perlu adanya pemenuhan atas pra-syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan pendidikan itu diakui dan secara sah berlaku untuk sebuah wilayah. Maka, kebijakan pendidikan harus memenuhi syarat konstitusional sesuai dengan hirarki konstitusi yang berlaku di sebuah wilayah hingga ia dapat dinyatakan sah dan resmi berlaku di wilayah tersebut. Sehingga, dapat dimunculkan suatu kebijakan pendidikan yang legitimat.
c)       Memiliki konsep operasional, Kebijakan pendidikan sebagai sebuah panduan yang bersifat umum, tentunya harus mempunyai manfaat operasional agar dapat diimplementasikan dan ini adalah sebuah keharusan untuk memperjelas pencapaian tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Apalagi kebutuhan akan kebijakan pendidikan adalah fungsi pendukung pengambilan keputusan.
d)       Dibuat oleh yang berwenang, Kebijakan pendidikan itu harus dibuat oleh para ahli di bidangnya yang memiliki kewenangan untuk itu, sehingga tak sampai menimbulkan kerusakan pada pendidikan dan lingkungan di luar pendidikan.  Para administrator pendidikan, pengelola lembaga pendidikan dan para politisi yang berkaitan langsung dengan pendidikan adalah unsur minimal pembuat kebijakan pendidikan
e)        Dapat dievaluasi, Kebijakan pendidikan itu pun tentunya tak luput dari keadaan yang sesungguhnya untuk ditindaklanjuti. Jika baik, maka dipertahankan atau dikembangkan, sedangkan jika mengandung kesalahan, maka harus bisa diperbaiki. Sehingga, kebijakan pendidikan memiliki karakter dapat memungkinkan adanya evaluasi terhadapnya secara mudah dan efektif.
f)        Memiliki sistematika, Kebijakan pendidikan tentunya merupakan sebuah sistem jua, oleh karenanya harus memiliki sistematika yang jelas menyangkut seluruh aspek yang ingin diatur olehnya.
Menurut James Anderson meringkas nilai-nilai yang dapat membantu dalam mengarahkan prilaku para pembuat keputusan kedalam lima bagian yaitu:
1)      Nilai –nilai Politik keputusan yang di hasilkan didasarkan pada keuntungan politik sebagai sarana mencapai tujuan-tujuan partai atau kelompok kepentingan,
2)       nilai-nilai organisasi layaknya kepentingan sebuah organisi seperti bandan administrasif memberikan banyak imbalan agar menerima usulan kebijakan yang di tawarkan atau menolak kebijakan yang akan di berlakukan karena dapat merugikan organisasi tersebut,
3)       nilai-nilai pribadi yaitu upaya melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi atau kedudukan sejarah seseorang, seorang politisi yang menerima suap untuk membuat sebuah keputusan tertentu, dan disisi lain presiden mengatakan bahwa ia tidak akan menjadi presiden yang pertama kalah perang mungkin ini juga dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan pribadi seperti keinginan untuk dicatat dalam sejarah,
4)       Nilai-nilai kebijakan memutuskan dengan melihat kepentingan masyarakat atau kepercayaan-kepercayaan mengenai apa yang merupakan kebijakan publik secara moral benar atau pantas, namun disini mungkin para lembaga legislatif harus siap dalam menghadapi resiko politik,
5)      nilai-nilai ideologi, karena ideologi merupakan seperangkat kepercayaan dan nili-nilai yang berhubungan secara logis yang merupakan pedoman bagi umat manusia.

Menurut Tilaar dan Riant Nugroho, [30] ada beberapa aspek yang mencakup dalam kebijakan pendidikan :
1.      Kebijakan pendidikan harus sesuai dengan  visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu.
2.       Kebijakan pendidikan harus meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, pelaksanaan dan evaluasi.
3.      Kebijakan haruslah mempunyai validitas dalam perkembangan pribadi serta masyarakat yang memiliki pendidikan itu.
4.      Kebijakan pendidikan harus ada keterbukaan dengan masyarakat sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk rakyat banyak.
5.       Kebijakan pendidikan didukung oleh riset dan pengembangan.
6.        Analisis kebijakan karena kebijakan pendidika merupakan bagian dari kebijakan publik
7.       Kebijakan pendidikan harus dutujukan kepada kebutuhan peserta didik.
8.       Kebijakan pendidikan diarahkan pada terbentuknya masyarakat demokratis
9.       Kebijakan pendidikan berkaitan dengan penjabaran misi pendidikan dalam pencapaian tujuan-tujuan tertentu.
10.  Kebijakan harus berdasarkan efisiensi.
11.  Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan pada kekuasaan tetapi kepada peserta didik.
12.  Kebijakan pendidikan bukan berdasarkan intuisi atau kebijaksanaan yang irasional.

 
      5.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Pendidikan

Sebuah kebijakan yang diputuskan oleh para perumus tidak serta merta di putuskan tanpa adanya pertimbangan dari nilai- nilai yang mempengaruhinya, faktor yang dimaksud ialah segala hal yang berada diluar kebijakan tetapi mempunyai pengaruh terhadap kebijakan pendidikan. Soepandi menyebutkan ada beberapa faktor lingkungan pendidikan yang meliputi; kondisi sumber daya alam, iklim, demografi, budaya politik, struktur sosial dan kondisi sosial ekonomi. [31]
Dalam pembicaraan faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan publik di bidang pendidikan tentunya tidak terlepas dengan tuntutan percepatan IPTEK yang berkembang di manca negara untuk menghadapi persaingan global, dengan nilai yang telah di ungkapkan diatas maka para aktor yang merumuskan kebijakan menjadi filter yang mampu  mencerna masalah yang timbul dengan berbagai kepentingan. Oleh karena itu kebijakan publik  untuk pendidikan bisa dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu;
1.Ada kebijakan yang berkenaan dengan fungsi-fungsi esensil dari sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan tersier. Sebagian dari kebijakan ini berhubungan dengan kurikulum, tetapi ini meliputi kebijakan yang berhubungan dengan penetapan tujuan dan sasaran, rekrutmen dan pendaptaran siswa, penilaian siswa, penghargaan dalam bentuk ijasah, diploma, dan disiplin siswa.
2.  Ada kebijakan yang berkenaan dengan penetapan, struktur, dan pengaturan lembaga individual dan sistem pendidikan yang menyeluruh atau sebagian.
3.  Berhubungan dengan rekrutmen; pekerjaan, promosi, supervisi dan remunerasi seluruh staf, tetapi terutama kategori-kategori berbeda dari para professional.
4.  Kebijakan yang berhubungan dengan ketentuan alokasi sumber keuangan dan ketentuan dan pemeliharaan bangunan dan peralatan. [32]

Maka Faktor yang sangat mempengaruhi terhadap perumusan kebijakan pendidikan ialah faktor-faktor kondisi – kondisi ekonomi, sosial dan politik umumnya dan khususnya  segala sesuatu yang menyangkut dengan seluruh perangkat sistem pendidikan baik dengan kualitas guru, mutu pendidikan, anggaran pendidikan pengembangan kurikulum hingga pada peserta didik. Mengkaji banyaknya faktor-faktor yang mempengaruhi kebijakan pendidikan tentunya bukan hal mudah dalam merumuskan sebuah kebijakan harus cermat dan sangat teliti dalam menilai sebuah masalah. Maka tidak heran jika sebuah kebijakan muncul terkadang disaat masalah yang berkembang sudah kadarluarsa. 
6.    Adopsi/Legitimasi Kebijakan
Setelah kebijakan dirumuskan maka berlanjut pada pengabdopsian kebijakan tersebut. Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.Mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol-simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah. [33] Berikut tingkatan kebijakan publik yang ada di Indonesia. Kebijakan Publik Pra UU No. 10/2004 lingkup nasional yang meliputi: [34]
1.  Kebijakan Nasional
   Kebijakan negara yang bersifat fundamental dan strategis dalam pencapaian tujuan nasional dengan wewenang MPR, dan President bersama-sama dengan DPR yang berbentuk: UUD TAP MPR, UU, PERPU.
a. Kebijakan Umum
   Kebijakan presiden sebagai pelaksana UUD, TAP MPR, UU, guna mencapai tujuan nasional dengan wewenang President yang berbentuk, PP, KEPRES, INPRES.
b. Kebijakan  Pelaksana
   Penjabaran dari kebijakan Umum sebagai strategis  pelaksanaan tugas di bidang tertentu dengan wewengan meneri/pejabat setingkat menteri dan pimpinan LPND yang berbentuk peraturan, keputusan, interuksi pejaban tertentu.
2. Kebijakan Lingkup Wilayah/Daerah
a.  Kebijakan Umum
 Kebijakan pemerinah daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dalam rangka mengatur urusan rumah tangga daerah yang berwenang kepala daerah bersama DPRD yang berbentuk PERDA.
b.  Kebijakan Pelaksanaan
Kebijakan pelaksanaan dengan wewenang kepala daerah attau kepala wilayah yang berbentuk keputusan kepala daerah dan instruksi kepala daerah, atau keputusan wilayah. 

Implementasi Kebijakan Pendidikan    
Pada tahap ini merupakan tahap yang sangat krusial dalam proses kebijakan, suatu kebijakan dirumuskan untuk di implementasikan. Tahapan implementasi perlu dipersiapkan dengan matang, pada tahap perumusan atau pembuatan kebijakan agar tidak terjadi kesenjangan antara rumusan dengan aplikasi dilapangan yang apabila tidak sejalan, maka tujuan tidak bisa di capai sebagaimana telah di rumuskan. Implementasi kebijakan adalah tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, baik secara individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan sebagaimana dirumuskan di dalam kebijakan. [35] Implementasi pada dasarnya adalah sebuah tahapan proses. Proses dalam pengertian ini adalah serangkaian keputusan dan tindakan yang mengarah kepada pencapaian tujuan-tujuan kebijakan yang telah dicanangkan.[36] Kunci keberhasilan dalam upaya implementasi dari kebijakan adalah ditentukan oleh prosesnya, terwujud dalam tahapan-tahapan yang secara teknis berlangsung dalam kegiatan implementasi tersebut.  
Implementasi sebuah kebijakan secara konseptual bisa dikatakan sebagai sebuah proses pengumpulan sumber daya (alam, manusia maupun biaya) dan diikuti dengan penentuan tindakan-tindakan yang harus diambil untuk mencapai tujuan kebijakan.  Hakikat utama implementasi adalah pemahaman atas apa yang harus dilakukan setelah sebuah kebijakan diputuskan. [37]
Tahapan ini tentu saja melibatkan seluruh stake holder yang ada, baik sektor swasta maupun publik secara kelompok maupun individual. Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni tindakan yang diambil oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan ketaatan kelompok target serta jejaring sosial politik dan ekonomi yang mempengaruhi tindakan para stake holder tersebut. Interaksi ketiga unsur tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik yang diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
Implementasi kebijakan tidak hanya melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan  tersebut, namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. [38] Implikasi sebuah  kebijakan merupakan tindakan sistematis dari pengorganisasian, penerjemahan dan aplikasi. Implementasi  kebijakan merupakan kegiatan yang kompleks dengan begitu banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi kebijakan.
Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga; keluaran atau outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya pengertian masyarakat atau lembaga; manfaat atau benefit yang wujudnya beragam; dampak atau impact baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok target baik individu maupun kelompok.
Proses formulasi dan implementasi kebijakan pendidikan tidaklah bersifat suigeneri dan seteril dari aneka pengaruh eksternal prosesnya dalam ranah dinamik yang rentan terhadap aneka pengaruh kepentingan politik dan birokratik. Mulai dari pemunculan isu, kemudian berkembang menjadi debat publik melalui media massa serta forum-forum terbatas lalu aspirasinya di pertimbangkan oleh partai politik untuk diartikulasikan dan dibahas dalam lembaga legislatif, sehingga menjadi kebijakan publik penddidikan. [39]
Setelah kebijakan dirumuskan, disahkan dan dipublikasikan pada khalayak ramai kemudian dilaksanakan atau diimplementasikan tolak ukur kebijakan pendidikan adalah terletak pada implemantasinya. Implementasi kebijakan pendidikan adalah pengupayaan agar rumusan-rumusan kebijakan pendidikan dapat berlaku dalam praktek. [40]
Secara teoritik, kebijakan pendidikan dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan pendidikan lebih bermutu mencakup empat pendekatan implementatif meliputi; Pertama Struktur Approach, ialah pendekatan yang bersifat top-down yang dikenal dalam teori-teori organisasi modern pendekatan ini memandang bahwa kebijakan pendidikan harus dirancang, diimplementasikan, dikendalikan, dan dievaluasi secara structural. Namun titik lemah dari pendekatan structural ini adalah, proses pelaksanaan implementasi kebijakan pendidikan menjadi kaku, terlalu birokratis, dan kurang efisien. 

Menurut Smith dalam Islamy (2001), implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variable, yaitu : 
1)      Idealized policy : yaitu pola interaksi yang digagas oleh perumus kebijakan dengan tujuan untuk mendorong, mempengaruhi dan merangsang target group untuk melaksanakannya 
2)       Target groups : yaitu bagian dari policy stake holders yang diharapkan dapat mengadopsi pola-pola interaksi sebagaimana yang diharapkan oleh perumus kebijakan. Karena kelompok ini menjadi sasaran dari implementasi kebijakan, maka diharapkan dapat menyesuaikan pola-pola perilakukan dengan kebijakan yang telah dirumuskan
3)      Implementing organization : yaitu badan-badan pelaksana yang bertanggung jawab dalam implementasi kebijakan. 
4)      . Environmental factors : unsur-unsur di dalam lingkungan yang mempengaruhi implementasi kebijakan seperti aspek budaya, sosial, ekonomi dan politik. [41]

Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah saran yang dilaksanakan agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Implementasi kebijakan adalah serangkaian aktivitas dan keputusan yang memudahkan pernyataan kebijakan dalam formulasi terwujud ke dalam praktik organisasi.

Ada empat factor penting dalam mengimplementasikan kebijakan, yaitu komunikasi, sumber, disposisi atau sikap dan struktur birokrasi. Untuk mengimplementasikan kebijakan ada dua pilihan langkah yang memungkinkan, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program-program atau melalui kebijakan turunan dari kebijakan public. 
C.  Kesimpulan
Dari paparan makalah diatas, penulis memberikan simpulan, bahwa argumen kebijakan dibuat untuk menjadi pedoman dalam bertindak, mengarahkan kegiatan dalam organisasi pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, meningkatkan keabsahan (dialectical function), optimalisasi simpulam kebenaran, mengajak dan mempengaruhi pihak lain untuk menerima argumen.
Fungsi utama argumen kebijakan, dialectical function, logical- emperical function, rhethorical function. Di era otonomi daerah kebijakan strategis yang diambil Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah adalah : (1) Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (School Based Management), (2) Pendidikan yang berbasis pada partisipasi komunitas (community based education), (3) Dengan menggunakan paradigma belajar atau learning paradigma, (4) Pemerintah juga mencanangkan pendidikan berpendekatan Broad Base Education System (BBE).
Struktur argumentasi kebijakan
Informasi yang relevan dengan kebijakan ( I ) merupakan bukti dari kerja analisis
Klaim kebijakan ( C ) merupakan kesimpulan dari suatu argumentasi kebijakan
Pembenaran (W) merupakan suatu asumsi didalam  argumen kebijakan yang memungkinkan analisis berubah  dari informasi yang relevan dengan kebijakan ke klaim kebijakan
Dukungan (B) yang terdiri dari asumsi-asumsi tambahan atau argumen argumen yang dapat digunakan untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima pada nilai yang tampak
Bantahan ( R ) merupakan kesimpulan kedua, asumsi atau argumen yang menyatakan dimana klaim asli tidak diterima atau klaim asli hanya dapat diterima pada derajat penerimaan tertentu.
Proses implementasi kebijakan hanya dapat dimulai apabila tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran yang semula bersifat umum telah dirinci, program-program aksi telah dirancang dan sejumlah dana/biaya telah dialokasikan untuk mewujudkan tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran tersebut.
 
[1]Dwiyanto Indiahono,  Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media, 2009, hal. 34
2Edi Suharto, Analisis Kebijakan Sosial. http://www. Policy. Hu/Suhartoo/modul-a/makindo-17.htm
3Muhtar, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta:  Gaung Persada, 2009, hal. 33 
4Ali Imron , Kebijakan Pendiikan Indonesia. (Jakarta: Bumi Aksara, 2006) hlm 36
5 Sulistiyo Basuki, Metode Penelitian, (Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2006)h 43
6Hasio, Kebijakan public dan Desentralisasi Pendidikan, (Yogyakarta: LPM Press, 2006) h 3
7 William N. Dunn,  Pengantar Analisis Kebijakan Publik.( Jogjakarta:Gajah Mada University Press,2003) hlm 69
8 Tatang Taufiq. Analisis kebijakan Publik. http://izzahluvgreen.wordpress.com/2008/05/24/analisis-kebijakan-publik/
9 Hasbullah,  Otonomi Pendidikan. (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006) hlm. 37
10Sulistiyo Basuki,  Metode Penelitian. ( Jakarta, Wedatama Widya Sastra, 2006) hlm. 27
11William N Dunn. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Ke-2. Yogyakarta: Gajah mada University Press.
12William Dunn, An Intruction To Public Policy Analysis, Prentice Hall, Englewood Cliff, Nj 1981 
13 Analisis Kebijakan Pendidikan dalam Jabatan  (Inservice Training)  Untuk Pengemban.
http://pustekkom.depdiknas.go.id/index.php?pilih=hal&id=54
14Eko, Prasetyo. 2006. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Cetakan Ke-4. Yogyakarta: Resist Book.
15Ibid, Mukhtar
16Massopa, Pengertian Dan Bentuk Analisis Kebijakan Publik
http://.wordpress.com/2008/10/15/pengertian-dan-bentuk-analisis-kebijakan-publik/
17http://file.upi.edu/Direktori/Rahmat Hidayat, Hakikat Pendidikan.
18H.A.R.Tilaar & RiantNugroho, KebijakanPendidikan, (Yogyakarta: PusakaPelajar, 2008), hlm. 134-135
19 http://www.dhanay.co.cc/2008/12/hakikat-pendidikan_23.html
20 Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS, 2004), hlm.7
21 tpsofian.staff.ugm.ac.idkuliahModel Kebijakan.pdf di akses 10 Des 2010
22 Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan.,  hal 95
23 Budi Winarno, Kebijakan Publik., hlm. 18- 19        
24 Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan., hlm. 190-191
                25 Ace Suryadi & H.A.R Tilaar, Analisis Kebijakan .., hlm. 49
26Muhammad Nuh, Kebijakan Pendidikan didasarkan 5k , http://kotawaringin barat kab.go.id sebuah artikel 04 May 2010 10:27,  download tanggal 8 Januari 2011
 27 http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
28 Aswandi, Proses sebuah kebijakan, http://www.facebook.com/topic.php, Senin, 20 Juli 2009  , download  tanggal 8 Januari 2011
29Media Indonesia, Dalam Artikel, Kebijakan , diakses tanggal 12 Desember 2010
30 Tilaar dan Riant Nugroho, Kebijakan., hlm. 141-150
31 http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/kebijakan-publik
32 http://www.scribd.com/doc/18531284/Kebijakan-Pendidikan
33http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik
34 http://www.slideshare.net/triwidodowutomo/kebijakan-publik
35Wajdi Rahman, Implementasi Kebijakan UU No.22 Th 1999 di DPRD kota Yogyakarta, dalam kerangka pelaksanaan fungsi pengawasan dan legalisasi. Tesis MAP UGM (Yogyakarta: 2002), hlm. 29
36 Malcoln L. Goggin dkk, Implementation Theory and Practice, (London England Scott Forgsman / Little : Brown Higer Education, 1990), hlm. 34
37MediaIndonesia,ProsesImplementasiKebijakanPublik,http://hykurniawan.wordpress.com/2009/01/23/proses-implementasi-kebijakan-publik/ 23 Januari 2009,  download tanggal 8 Januari 2011
38 Ibid.,
39 Arif Rohman &Teguh Wiyono, Education., hlm. 3   
40 H.A.R.Tilaar & Riant Nugroho, Kebijakan, , hlm. 211
41 http://forester-rimbawan.blogspot.com/2009/05/model-model-implementasi-kebijakan.html






DAFTAR PUSTAKA
Ali Imron,   2006,  Kebijakan Pendidikan Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara
Ahmad Tafsir, 2010, Filsafat Pendidikan Islam, Bandung: Remaja Rosdakaya
Aswandi, 2009,  Proses  sebuah  kebijakan,  http://www.facebook.com/topic.php, , download
Dwiyanto Indiahono,2009,   Kebijakan Publik. Yogyakarta: Gava Media
Dunn, William N. 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Edisi Ke-2. Yogyakarta: Gajah
mada University Press.
Dunn,  William N. 2003, Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jogjakarta:Gajah Mada
                                
University Press
Edi Suharto,  Analisis Kebijakan Sosial. http://www. Policy. Hu/Suhartoo/modul-a/makindo-17.htm
Eko, Prasetyo. 2006. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Cetakan Ke-4. Yogyakarta: Resist Book.
Hasio, 2006,  Kebijakan public dan Desentralisasi Pendidikan, Yogyakarta: LPM Press
Http://file.upi.edu/Direktori/Rahmat Hidayat, Hakikat Pendidikan.

H.A.R.Tilaar & RiantNugroho, 2008, KebijakanPendidikan, Yogyakarta: PusakaPelajar
Mukhtar.  2009. Orientasi Baru Supervisi Pendidikan. Jakarta: Gaung Persada

Muhammad Sirozi, Politik Kebijakan Pendidikan di Indonesia, (Jakarta: INIS, 2004)

Sulistiyo Basuki, 2006, Metode Penelitian, Jakarta: Wedatama Widya Sastra
Topatimasang, Roem, 2007,  Mengubah  Kebijakan  Publik. Cetakan Ke-5. Yogyakarta: Insist Press.

Prasetyo, Eko. 2006. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Cetakan Ke-4. Yogyakarta: Resist Book.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar